Tentu saja, kalau bicara tentang yang satu ini, pembicaraan bisa panjang dan mungkin akan menghabiskan bercangkir-cangkir kopi dan seabrek gorengan.Â
Saya mulai bersepeda sejak Sekolah Dasar (SD). Tepatnya kapan saya bisa bersepeda, saya tidak ingat persis. Mungkin waktu di kelas tiga atau empat SD.Â
Awalnya adalah sepeda roda empat. Ini bukan mobil-mobilan, tapi sepeda roda dua dengan modifikasi tambahan roda di kiri-kanan ban belakang. Jadi satu roda di depan dan tiga roda di belakang.
Seiring waktu berjalan, saya ingin "naik kelas". Belum jago kalau masih roda empat di sepeda. Berlatih mengendarai sepeda roda dua berlanjut. Naik level.Â
Setelah mampu, sepeda hanya menjadi hiburan di seputar rumah di saat sore hari yang sejuk dan ketika libur sekolah. Tidak lebih dan tidak kurang.
Namun fungsi sepeda berubah sewaktu saya beranjak ke SMP. Sepeda bukan lagi menjadi hiburan semata, tapi juga berperan sebagai alat transportasi.Â
Ada kenikmatan tersendiri sewaktu berkendara wira-wiri dari rumah ke sekolah, dan sebaliknya, dari sekolah ke rumah. Selain sudah dipercaya oleh orangtua untuk berkendara dengan sepeda di jalan raya, badan jadi lebih segar dan sehat.
Meskipun ada juga tidak enaknya. Kalau saat hujan, terpaksa saya harus naik angkot ke sekolah. Pulang juga begitu, karena kan paginya tidak bawa sepeda. Tidak enak lainnya adalah saat pulang dalam kondisi panas terik membakar.
Tak heran, kulit saya jadi gosong, terbakar sinar matahari. Tapi saya tidak memedulikan efek sampingnya. Karena waktu itu, kebutuhan akan pergi-pulang demi pendidikan lebih utama. Untuk menghemat ongkos transportasi.
Selama tiga tahun di SMP, saya mengendarai sepeda dan berbagai hal indah mengisi hari-hari selama pembelajaran di SMP. Dan dari momen-momen tersebut, saya mendapat dua orang teman yang juga kebetulan mengendarai sepeda dari rumah ke sekolah seperti saya.
Bersepeda bersama saat pulang dari sekolah adalah peristiwa yang tidak akan pernah bisa saya lupakan dalam hidup ini. Bagaimana sepeda bisa membentuk kebersamaan.Â
Dedi dan Fandi (keduanya bukan nama sebenarnya) adalah teman-teman yang mengisi kehidupan saya saat remaja di SMP. Dari sepeda, saya belajar tentang kesehatan, perjuangan, dan kebersamaan.
Di saat dewasa...
Sejak SMA, saya berhenti bersepeda, karena sepeda saya dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.Â
Waktu kuliah juga bisa dikata saya tidak bersepeda. Bisa dikata, karena sempat mempunyai sepeda, tapi sepeda saya kemudian hilang digondol maling.
Tapi sewaktu bekerja sebagai guru SD, saya sempat mempunyai sepeda kembali, karena pada waktu itu, saya memutuskan untuk hidup mandiri, tinggal di kamar kos. Indekos. Berpisah dengan kakak perempuan saya, karena saya merasa sudah cukup menyusahkannya semasa saya berkuliah.
Karena sepeda motor kembali ke pemilik, yaitu kakak perempuan saya, maka saya tidak mempunyai kendaraan untuk pergi ke tempat kerja, yaitu SD di mana saya mengajar sebagai guru bahasa Inggris dan rumah-rumah murid les yang terbilang banyak jumlahnya waktu itu.
Kebetulan salah seorang teman, sebut saja namanya Hadi, menawarkan sepedanya yang sudah lama tidak dia gunakan, tapi masih dalam kondisi bagus.Â
Setelah memeriksa kondisi fisik dan sesudah lolos test drive, transaksi terjadi, dan saya pun langsung bersepeda ke tempat kerja dan ke berbagai rumah murid les.
Namun, usia kemesraan dengan sepeda itu juga tidak panjang. Saya harus mengikhlaskan kepergian sepeda. Kali ini bukan karena dicuri, tapi dikarenakan saya harus menjualnya.
Alasan kecepatan menjadi faktor utama. Kondisi jalan di Samarinda yang tidak selalu rata dan masalah cuaca yang tidak menentu menjadi alasan.Â
Kalau menggunakan jas hujan saat bersepeda, teramat sangat mengganggu saat mengayuh dan juga sangat berbahaya karena faktor jalan yang licin.
Dengan sangat terpaksa, saya menjual sepeda kesayangan dan beralih ke sepeda dengan tambahan motor. Demi mobilitas yang lebih cepat dan mudah.Â
Pengalaman ban bocor di tengah perjalanan saat bersepeda juga menjadi pertimbangan bahwa betapa susahnya mencari bengkel sepeda tanpa motor di kota saya, Samarinda. Malah bisa dikatakan tidak ada.
"Maaf, Mas. Nggak berani. Takut nanti bingung masangnya kembali."
Begitu alasan kebanyakan montir di beberapa bengkel sepeda motor yang saya temui dulu sewaktu membawa sepeda dengan ban bocor dengan harapan untuk ditambal.
Ada satu bengkel yang tidak akan pernah saya lupakan dan berbaik hati menerima, dan memang ban telah ditambal, tapi sang montir mengalami kesulitan sewaktu mau memasang kembali ke kondisi awal.
Makanya, sejak saat itu, saya memutuskan untuk pensiun bersepeda.
Makna bersepeda dan etika yang menyertainya
Tentu saja, maksud dari pensiun bersepeda di atas adalah hanya dalam artian sebagai alat transportasi. Untuk kesehatan, tentu saja, saya masih berminat memiliki dan menggowes, meskipun tidak dalam waktu dekat ini.
Makna bersepeda bagi saya pribadi sangatlah luas. Bukan hanya sebagai instrumen, alat untuk berolahraga, tapi juga tentu saja sebagai alat transportasi di masa remaja dulu, dan maunya saya, kelak nanti di kemudian hari, di saat Samarinda, kota tempat saya berdomisili, juga menyediakan trek khusus untuk pesepeda. Kalau pun ada, jangan hanya sekadar ada, tapi juga tetap terpelihara dan pengendara kendaraan bermotor tidak melanggar aturan dengan menyerobot jalur yang bukan menjadi areanya.
Bagaimana dengan etika bersepeda?
Saya tidak bisa terlalu banyak berbicara tentang hal itu, karena selain dulu bisa dibilang saya tidak menggunakan peralatan tambahan dalam bersepeda, sejauh ini, di masa sekarang, khususnya di kota Samarinda di mana saya tinggal, etika bersepeda dari para penggemar olahraga ini terlihat baik.
Ada 3 hal yang saya pikir penting berkaitan dengan etika bersepeda, antara lain:
1. Memakai helm saat bersepeda
Helm bukan monopoli kendaraan bermotor seperti sepeda motor, tapi juga dalam bersepeda. Apakah Anda bisa membayangkan apabila kepala Anda menyentuh aspal jalanan tanpa helm?
Keselamatan dalam bersepeda harus menjadi yang utama, khususnya kepala. Melindungi kepala dengan helm sepeda menjadi keniscayaan. Nyawa akan menjadi taruhan jika lalai dalam bersepeda tanpa helm di kepala.
Helm, wajib hukumnya dalam bersepeda.
2. Gunakan sarung tangan, sepatu, pelindung siku, pelindung lutut, dan perlengkapan lainnya
Tidak cukup hanya kepala. Organ-organ tubuh lainnya juga harus mendapat perlakuan yang sama dan tidak kurang adanya, seperti tangan, siku, lutut, kaki, dan lain sebagainya.
Sedapat mungkin, jika ada dana yang memadai, lengkapi perlengkapan keamanan dalam bersepeda, seperti sarung tangan, pelindung siku, pelindung lutut, sepatu, dan yang lainnya. Gunakan segala kelengkapan itu untuk melindungi diri Anda dari kemungkinan terjadinya kecelakaan selama bersepeda.
3. Jaga kecepatan aman dalam bersepeda dan tetap fokus di jalan
Keselamatan dalam bersepeda tetap harus diutamakan, dan oleh karena itu, menjaga kecepatan aman sudah sepantasnya mendapat tempat yang tertinggi sewaktu bersepeda. Lebih baik pelan daripada ngebut dan pada akhirnya akan menimbulkan kecelakaan.
Bersepeda dengan perlahan dalam kecepatan yang aman selain memberi keamanan kepada diri, juga memberi rasa aman pada orang lain yang juga menggunakan media jalan atau sedang berkendara dengan kendaraan bermotor dan sepeda.
Anda juga harus tetap fokus di jalan. Jangan gara-gara memikirkan pekerjaan yang belum selesai di kantor atau membayangkan masalah keluarga sehingga menyebabkan fokus perhatian terpecah antara berada di alam nyata dan maya dalam waktu yang bersamaan. Bisa terjadi kecelakaan kalau perhatian tidak tertuju sepenuhnya ke jalan saat bersepeda.
Fokus, pusatkan perhatian seratus persen ke jalan saat bersepeda.
* * *
Demikianlah sekadar menuliskan sedikit nostagia tempo doeloe ketika masih belia saat bersepeda dan sedikit masukan berkaitan dengan makna, serta etika bersepeda.
Bagi Anda yang mempunyai hobi bersepeda, tetap lakukan dengan giat sambil tetap memperhatikan etika bersepeda.Â
Bagi Anda yang ingin bersepeda, namun belum mampu membelinya, semoga kelak Anda bisa membelinya dan menikmati nikmatnya sensasi bersepeda (saya rindu bersepeda kembali. Semoga saja saya bisa membeli sebuah sepeda di kemudian hari).
Akhir kata, tetap semangat. Tetap berpikir positif dalam memaknai kehidupan ini.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H