Bersepeda bersama saat pulang dari sekolah adalah peristiwa yang tidak akan pernah bisa saya lupakan dalam hidup ini. Bagaimana sepeda bisa membentuk kebersamaan.Â
Dedi dan Fandi (keduanya bukan nama sebenarnya) adalah teman-teman yang mengisi kehidupan saya saat remaja di SMP. Dari sepeda, saya belajar tentang kesehatan, perjuangan, dan kebersamaan.
Di saat dewasa...
Sejak SMA, saya berhenti bersepeda, karena sepeda saya dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.Â
Waktu kuliah juga bisa dikata saya tidak bersepeda. Bisa dikata, karena sempat mempunyai sepeda, tapi sepeda saya kemudian hilang digondol maling.
Tapi sewaktu bekerja sebagai guru SD, saya sempat mempunyai sepeda kembali, karena pada waktu itu, saya memutuskan untuk hidup mandiri, tinggal di kamar kos. Indekos. Berpisah dengan kakak perempuan saya, karena saya merasa sudah cukup menyusahkannya semasa saya berkuliah.
Karena sepeda motor kembali ke pemilik, yaitu kakak perempuan saya, maka saya tidak mempunyai kendaraan untuk pergi ke tempat kerja, yaitu SD di mana saya mengajar sebagai guru bahasa Inggris dan rumah-rumah murid les yang terbilang banyak jumlahnya waktu itu.
Kebetulan salah seorang teman, sebut saja namanya Hadi, menawarkan sepedanya yang sudah lama tidak dia gunakan, tapi masih dalam kondisi bagus.Â
Setelah memeriksa kondisi fisik dan sesudah lolos test drive, transaksi terjadi, dan saya pun langsung bersepeda ke tempat kerja dan ke berbagai rumah murid les.
Namun, usia kemesraan dengan sepeda itu juga tidak panjang. Saya harus mengikhlaskan kepergian sepeda. Kali ini bukan karena dicuri, tapi dikarenakan saya harus menjualnya.
Alasan kecepatan menjadi faktor utama. Kondisi jalan di Samarinda yang tidak selalu rata dan masalah cuaca yang tidak menentu menjadi alasan.Â
Kalau menggunakan jas hujan saat bersepeda, teramat sangat mengganggu saat mengayuh dan juga sangat berbahaya karena faktor jalan yang licin.