Seperti contoh Pak Hendra, guru bahasa Inggris di SD Swasta dimana Rudi, murid les saya, bersekolah.
Menurut informasi dari Rudi, beliau mengajar dari kelas satu sampai kelas enam. Total kelas ada sekitar 12 kelas yang harus beliau ajar.
Memang tak mudah mengajar begitu banyak kelas. Saya pernah mengalaminya dulu. Sangat melelahkan. Namun itu seharusnya jangan dijadikan alasan untuk mengabaikan tanggung jawab mengajar, apalagi karena orangtua murid tetap membayar SPP setiap bulan.
Apa pantas uang sudah keluar dari dompet, tapi imbal balik tidak seperti yang diharapkan? Bukan simbiosis mutualisme, tapi parasitisme yang terjadi.
Uang ratusan ribu rupiah terbang percuma kalau pada akhirnya orangtua dan guru les yang mengajari peserta didik.
Menyoal Bu Dini (bukan nama sebenarnya), guru bahasa Inggris Jessica, bisa dikatakan malah lebih parah.Â
Bukannya menggunakan teknologi yang ada tapi malahan menggunakan cara "tertulis" lewat WA saja.
"Pertemuan lewat Zoom ada, tapi sekadar membahas soal. Selebihnya tugas dikirim lewat WA," kata Jessica.
Uang sekolah lebih dari setengah juta rupiah yang dibayarkan orangtua tidak sebanding dengan jasa pendidikan yang diberikan sekolah kepada para peserta didik.
Tak heran, kemampuan bahasa Inggris Hendra dan Jessica tidak memadai.Â
Hendra tidak memahami bagaimana harus menjawab pertanyaan sederhana seperti "What is your name?" sekalipun.