"Ya, dari dulu saya ngomong seperti ini, Pak. Bagaimana saya bisa menghilangkan dialek saya?" jawab Anwar ketus.
Sejak saat itu, Anwar jengkel dengan Pak Dodi dan selalu mengingat apa yang Pak Dodi katakan perihal dialeknya yang "lucu".
Sampai lulus dan meraih gelar sarjana, Anwar masih menyimpan rasa marah terhadap Pak Dodi dan juga perasaan minder akan dialek yang dia punyai. Padahal saya sudah sering memberinya saran untuk tidak memedulikan apa kata Pak Dodi, karena setiap orang memang dipengaruhi oleh dialek bahasa ibu masing-masing.
"Sudahlah, War. Tidak usah minder. Semua orang mempunyai dialek masing-masing. Tidak usah dihiraukan kata-kata Pak Dodi..."
"Kamu enak ngomong begitu, karena kamu punya dialek yang standar, Ton. Lah aku..."
Anwar tetap kukuh dengan pendiriannya. Saya tidak bisa berbuat banyak untuk memotivasinya.
Saya sempat mendengar dari kakak laki-laki Anwar kalau Anwar pernah menjadi guru honorer di sebuah SMP di kampung halaman. Kabar yang terakhir, saya dengar dia menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta di Pulau Jawa.
"Dialect Shaming" telah memberikan pengaruh negatif dalam semangat berbahasa Inggris
Kalau body shaming menjadikan fisik seseorang sebagai "sasaran tembak", candaan dan penghinaan, maka dialect shaming mengacu pada mengolok dialek seseorang.
Sebetulnya dialect shaming bukan hal baru. Sudah banyak hal yang berkaitan dengan itu terjadi di antara siswa dan mahasiswa, dan selama saya bersekolah dan berkuliah, hal seperti itu sudah tak asing.Â
Tanggapan saya tentang itu tentu saja tidak menyetujui dialect shaming khususnya dalam proses menguasai bahasa asing, semisal bahasa Inggris.
Sayangnya, salah satu contoh perundung adalah seorang dosen. Sangat disayangkan. Mudah-mudahan beliau sadar akan kesalahannya. Saya sudah lama tidak mendengar kabar tentang beliau.