Sebenarnya sudah lama sekali saya ingin menuliskan ini, tetapi selalu timbul keraguan dalam hati. Seperti membuka aib sendiri.
Tapi setelah menimbang selama beberapa purnama, saya pun memutuskan untuk menuliskannya. Sebagai pengingat bagi diri dan syukur-syukur juga bisa bermanfaat bagi orang lain yang membaca tulisan sederhana ini.
Perihal nama yang menjadi persoalan saya selama ini.Â
Nama saya di daftar absensi SD, SMP, SMA, bahkan sampai Perguruan Tinggi adalah "Anton Hamdali".
Nomor urut di daftar absensi selalu berada dalam urutan lima besar, yaitu di nomor satu, dua, atau tiga.
Menjengkelkan? Tentu saja, apalagi kalau ada tugas guru yang mewajibkan peserta didik untuk tampil di depan kelas, seperti membaca puisi, menari (dulu saya dan teman-teman pernah harus menari kreasi di depan kelas. Kalau ingat, rasanya malu sekali), menyanyi, dan lain sebagainya.
Kebanyakan guru saya dulu suka memanggil peserta didik sesuai nomor urut di daftar absensi. Yah, terima nasib waktu dipanggil, misalnya saat guru mengambil nilai murid saat membaca puisi atau menyanyi. Daripada tidak dapat nilai, lebih baik tidak mengeluh dan maju saja. Lebih cepat maju, lebih cepat dapat nilai, dan lebih cepat santai.
Sampai kuliah, nama saya selalu berada di urutan lima besar, meskipun dalam prestasi, jangankan lima besar. Masuk sepuluh besar atau dua puluh besar saja bisa dikatakan susahnya setengah mati.
Yang sempat saya sesalkan (dulu, waktu kecil), kenapa nama saya huruf pertamanya berawalan "A". Kenapa tidak berawalan B, C, D, atau Z sekalian supaya mendapat giliran belakangan saat dipanggil guru.
Tapi setelahnya, saya menjadi terbiasa, selalu siap, karena kemungkinan dipanggil guru untuk tampil perdana di depan kelas hampir 99 persen.
Hanya saja, setelah mendapat ijazah, nama "Hamdali Anton" yang terpampang, bukan "Anton Hamdali". Sempat bertanya pada orangtua, namun mereka tidak bisa memberikan jawaban kenapa hal ini bisa terjadi.Â
Di akta kelahiran, nama keluarga terletak di awal, dipisah dengan sebuah "koma", lalu nama pertama. Tertulis "Hamdali, Anton", bukan "Hamdali Anton", apalagi "Anton Hamdali".
Saya tidak bertanya pada kakak-kakak saya karena kesukaran hidup saat sekolah dimana perekonomian keluarga terpuruk, sehingga perhatian difokuskan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan dibandingkan nama yang tidak sesuai keinginan.
Jadi di ijazah SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi, nama "Hamdali Anton" terpampang dengan jelas dan terang benderang.
Meskipun begitu, di KTP tetap tertulis "Anton Hamdali".
Saya pernah mengajar di beberapa lembaga pendidikan dan kursus bahasa Inggris dengan berbekal ijazah SMA dan transkrip nilai saat masih berstatus mahasiswa, dan tidak ada masalah dengan nama "Anton Hamdali" yang di ijazah tertulis "Hamdali Anton".
Namun menjadi masalah sewaktu ada pendataan guru honorer 13 tahun yang lalu.
"Nama bapak harus sesuai dengan ijazah. Kalau tidak sesuai, input data akan bermasalah di dinas pendidikan," kata Bu Gina (bukan nama sebenarnya), staf Tata Usaha (TU) SDN @nomention dimana saya dulu mengabdi.
"Jadi," Bu Gina melanjutkan, "Bapak harus mengurus KTP yang baru. KTP dengan nama sesuai ijazah. Kalau tidak, ya sudah. Bapak tidak bisa mengajar di sini."
Dengan terpaksa, saya mengurus KTP baru kalau masih mau bekerja di SD dan tidak ingin mendapat masalah di kemudian hari.
Hal pertama yang saya lakukan adalah saya melapor ke Ketua RT, sekalian mau pindah alamat, karena ingin mandiri, menimbang saya tidak ingin menjadi beban bagi kakak perempuan saya. Kebetulan momennya pas dengan pergantian urutan nama di KTP dan Kartu Keluarga.
Langkah berikutnya, saya mendatangi kelurahan berbekal surat pengantar dari Ketua RT, satu fotokopi akta kelahiran, dan satu fotokopi ijazah (saya pakai fotokopi ijazah SMA).
Kemudian, saya mendatangi kecamatan dengan membawa surat keterangan dari kelurahan untuk membuat KTP baru, karena pindah alamat dan perubahan nama sesuai fotokopi akta kelahiran dan ijazah.
Terakhir, saya meluncur ke Kantor Catatan Sipil untuk melaporkan sekaligus mendapatkan surat keterangan pengganti KTP sementara sembari menanti KTP jadi.Â
KTP jadi beberapa bulan kemudian. Nama berubah menjadi "Hamdali Anton".
Imbas dari berubahnya namaÂ
Ada imbas yang nyata sekali saya alami setelah nama berubah.Â
Imbas yang sudah pasti adalah kebanyakan orang memanggil saya dengan nama "Hamdali".
Tentu saja itu tidak mengherankan karena nama depan identik dengan nama panggilan. "Hamdali Anton" mengarahkan kepada nama panggilan "Hamdali", bukan "Anton".
Dulu saya suka mengoreksi orang lain saat memanggil saya "Hamdali".
"Maaf. Tolong panggil saya Anton. Hamdali itu nama keluarga saya," kata saya.Â
Pada awal menulis di Kompasiana, saya suka meminta dengan sangat kepada beberapa kompasianer yang memberi komentar di artikel-artikel saya untuk memanggil saya Anton.Â
Namun lama-kelamaan saya bosan mengklarifikasi kalau nama panggilan saya "Anton", bukan "Hamdali". Apalagi kalau kompasianer tersebut pernah saya beritahu, tapi masih memanggil saya "Hamdali".
Yah, terpaksa saya menerima saja kalau ada yang memanggil "Hamdali". Untuk apa marah? Toh memang nama saya adalah "Hamdali Anton". Wajar kalau kebanyakan orang memanggil saya "Hamdali", bukan "Anton".
Selama bertahun-tahun saya mempunyai nama "terbalik" dan saya baik-baik saja dengan itu.
Waktu saya berbincang dengan salah satu kakak perempuan saya, sebut saja Yuli Hamdali, beberapa tahun yang lalu setelah KTP sudah lama jadi, dia mengatakan bahwa di akta kelahiran, namanya dan kakak-kakak yang lain juga seperti saya, "Hamdali" dulu di awal, lalu ada tanda koma (,), kemudian "Yuli" setelahnya. Tertulis "Hamdali, Yuli".
Di ijazah, "Hamdali Yuli" juga, tapi di KTP dan pekerjaan sehari-hari, nama formal yang dipakai adalah "Yuli Hamdali". Begitu juga dengan kakak-kakak yang lain, katanya.
Mungkin penyebabnya adalah mereka tidak bekerja di instansi pemerintah seperti saya yang bekerja di sekolah dasar negeri yang menganut aturan nama harus sesuai ijazah. Itu menurut saya. Benar atau tidaknya, saya tidak tahu. Cuma dugaan saya saja.
Jangan sampai terjadi pada putra-putri Anda
Kalau seandainya Anda yang membaca tulisan ini berstatus sebagai orangtua dan baru mempunyai seorang anak, sebaiknya Anda sesegera mungkin mengurus akta kelahiran putra atau putri langsung dengan mengikuti prosedur yang berlaku.
Secara pribadi, saya tidak menyalahkan orangtua saya karena kami adalah keluarga besar. Saya adalah anak ketujuh dari tujuh bersaudara. Sudah tentu butuh biaya besar untuk membesarkan dan membiayai pendidikan anak-anak.
Ayah sibuk berbisnis dan itu wajar, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga supaya tercukupi dan untuk keperluan biaya pendidikan yang jumlahnya luar biasa.
Ibu juga tidak kalah sibuknya, harus memasak makanan untuk seisi rumah, menjaga rumah tetap bersih, mengatur keuangan supaya tidak besar pasak daripada tiang, dan lain sebagainya.
"Ayahmu meminta tolong pada Om Leo (bukan nama sebenarnya) untuk mengurus akta kelahiran kalian. Yah, maklum di Indonesia. Kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah? Karena urusan mengurus surat-surat berbelit-belit dan memakan waktu, sedangkan ayahmu harus berbisnis demi memenuhi kebutuhan kita sekeluarga, terpaksa ayahmu meminta tolong pada Om Leo," kata ibu dulu waktu saya sempat menanyakan perihal nama terbalik di akta kelahiran beberapa tahun yang lalu.
Saya tidak menyalahkan ayah saya karena kondisi waktu itu memang sangat berbelit birokrasinya.Â
Saya kira, saat ini kemungkinan birokrasi sudah lebih dipangkas dan dipermudah, apalagi di masa pandemi covid-19 sekarang ini.
Sebaiknya orangtua mengurus sendiri dan teliti, mencermati apakah ada salah huruf dalam pengetikan nama anak di akta kelahiran atau terbalik, karena seperti yang terjadi pada saya, sekali keliru, akan memberi dampak seterusnya dan sukar untuk diperbaiki.
Sebagai contoh lain, kenalan saya, Raymond (bukan nama sebenarnya) pernah bercerita pada saya kalau putra pertamanya, Bryan (nama samaran) sempat ngambek karena di akta kelahiran, tidak ada nama keluarga yang mengikuti yaitu Surya (bukan nama sebenarnya).
"Seharusnya Bryan William Surya, tapi karena tempo hari, aku pikir sudah kuurus cukup lama dan sudah yakin benar, ternyata malah cuma tertulis Bryan William.
"Bryan diolok-olok oleh keluarga besar, dianggap bukan anak kandung kami, karena tidak ada nama keluarga Surya yang melekat di namanya.
"Akhirnya, kami mengambil jalur hukum, lewat pengadilan, untuk menambahkan nama keluarga di belakang nama Bryan.
"Harus ada saksi, yaitu beberapa anggota keluarga yang membenarkan bahwa Bryan adalah anak kami dan seabrek pertanyaan untuk menguatkan sehingga Bryan layak mendapat tambahan nama keluarga Surya di belakang namanya.
"Biaya? Tak usah disebut. Pastinya banyak. Tapi yang paling memusingkan adalah kerepotan dalam mengurus penambahan nama. Sangat memakan waktu, biaya, dan tenaga..."
Jangan sampai putra-putri Anda mengalami apa yang saya dan Bryan alami.
Urus sendiri akta kelahiran putra-putri secepatnya dengan cermat. Jangan sampai ada kesalahan sekecil apa pun, karena kalau sampai salah, akan timbul penyesalan seumur hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H