Tanggal 20 November 2020 diperingati sebagai Hari Anak Sedunia. Tentu saja tahun ini banyak hal yang sangat berubah karena Covid-19 telah memporak-porandakan segala tatanan kehidupan.
Belajar Dari Rumah (BDR) terpaksa harus dijalani anak-anak. Mau tidak mau dan suka tidak suka. Saya melihat berbagai hal-hal yang memprihatinkan dari kacamata saya selama BDR ini berlangsung.
Anak-anak, mulai dari usia sekolah SD sampai SMA yang menjadi murid-murid les adalah parameter dalam pemandangan saya.
Berbagai keluhan terlontar selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang mereka hadapi. Mulai dari kelelahan dikarenakan mengikuti proses belajar mengajar yang sangat panjang dan lama sampai PR yang menumpuk seakan tidak ada habis-habisnya.
Secara pribadi, saya mengamati bahwa terlalu banyak tuntutan pada anak, berbagai kewajiban yang harus anak penuhi. Hak? Menurut saya, terabaikan, meskipun selalu digaung-gaungkan oleh pemerintah, namun dalam pelaksanaan, jauh panggang dari api.
Saya tidak mengatakan bahwa saya lebih tahu soal hak-hak anak yang harus dipenuhi, tapi berdasarkan pengamatan dan juga pengalaman saya selama bertahun-tahun sebagai guru, baik itu dalam kondisi normal, maupun saat covid-19 sekarang ini, ada beberapa hak anak yang tidak terpenuhi.
Dalam tulisan ini, dari sekian banyak hak, saya hanya akan menyampaikan 3 (tiga) hak utama yang seharusnya anak dapatkan dari pemerintah, sekolah, dan orangtua. Dalam hal ini, melihat kesemrawutan pendidikan saat ini, sudah seharusnya ketiga pihak menyamakan persepsi perihal hak anak supaya tidak tercederai.
Mungkin Anda tidak sependapat dengan saya; tapi menurut saya; pemerintah, sekolah, dan orangtua perlu memberikan tiga hak utama ini pada anak. Tiga hak utama ini adalah menurut pemikiran saya yang saat ini tidak atau belum terpenuhi dengan maksimal.
Tiga hak utama menurut saya adalah:
Hak #1 - Hak untuk mendapatkan pendidikan yang "benar dan terarah"
Saya tidak mengatakan kalau pendidikan sekarang "salah dan tersesat", tapi masih kurang "benar" dan kurang "terarah".
Selama 20 tahun lebih berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya melihat dan mengalami sendiri kalau peserta didik masih menjadi "objek", bukan "subjek" dalam pendidikan.
Kebanyakan guru hanya "menyuapi" peserta didik dengan berbagai ilmu pengetahuan dan peserta didik tidak boleh protes. "Sebutkan" adalah andalan dari kata pertama setiap pertanyaan yang mendominasi dalam soal ujian.
Hafalan dan segebung teori. Minim praktik.
Apakah itu salah guru? Tentu saja tidak, karena guru hanya menjalankan tugas sesuai kurikulum yang disusun oleh pemerintah. Orangtua pun juga tidak bersalah kalau mereka mendesak anak untuk menghafal, menghafal, dan menghafal. Mau bagaimana lagi? Wong mereka memenuhi tuntutan dari guru yang notabene juga tuntutan dari kurikulum.
Dalam hal ini, sudah jelas dan terang benderang kalau kurikulum Indonesia suka bergonta-ganti kulit atau sampul luar, tapi sebenarnya isi, menurut saya, sama saja. Terlalu fokus pada segi kognitif, nilai di atas kertas, tapi mengabaikan segi afektif dan psikomotor, meskipun "katanya" mendapat porsi seimbang dalam kurikulum.
Mudah-mudahan, harapan sangatlah besar, semoga kurikulum darurat saat ini lebih "ramah anak" dengan tujuan-tujuan yang "benar" demi kemajuan anak; dan "terarah" sehingga tidak membuat bingung banyak pihak, baik itu guru, anak, maupun orang tua.
Hak #2 - Hak untuk mendapatkan penghargaan yang sepantasnya
Menurut saya pribadi, tidak ada yang namanya mata pelajaran yang tidak penting. Semuanya penting.
Kenapa saya mengatakan seperti itu?
Karena kita sudah melihat bahwa hanya segelintir mata pelajaran (mapel) yang menjadi mapel wajib di Ujian Nasional (UN). Meskipun UN sudah tidak ada lagi, tapi penerapan di kebanyakan sekolah tetap saja sama.
Mapel-mapel tertentu seperti Matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan lain-lain tetap sebagai tolok ukur keberhasilan suatu sekolah.Â
Padahal mapel-mapel lain juga sama pentingnya. Ditambah lagi, minat dan kemampuan setiap anak tidaklah sama. Mungkin ada anak yang tidak terlalu menyukai Matematika, tapi dia kuat dalam bidang Bahasa Inggris. Begitu juga sebaliknya, ada anak yang "lemah" di Bahasa Inggris, tapi dia sangat berminat dalam Matematika.
Saya terkesan dengan film "Ron Clark" yang menceritakan tentang seorang guru baru di suatu sekolah yang penuh dengan permasalahan peserta didik yang rumit.
Anda bisa menonton filmnya langsung, melihat bagaimana Pak Guru Ron Clark mengatasi masalah minimnya minat belajar murid-muridnya. Yang menjadi fokus saya adalah pemberian penghargaan di saat membagi rapor di akhir semester.
Ada peserta didik yang unggul di bidang sains. Ada peserta didik yang piawai dalam segi kesenian. Ada peserta didik yang mahir dalam bahasa. Setiap siswa mendapat penghargaan disesuaikan dengan minat mereka masing-masing.
Jangan menyamaratakan kemampuan dan minat semua peserta didik, karena setiap anak itu unik adanya. Berikan penghargaan yang sepantasnya sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing.
Hak #3 - Hak untuk memperoleh waktu bermain yang memadaiÂ
Keluhan-keluhan yang saya dengar dari peserta didik selama hampir sembilan bulan ini menyuarakan hal-hal yang sama.
Capek, bosan, ...
Orang dewasa saja butuh refreshing, apalagi anak-anak.
PR bertumpuk setiap hari, menyebabkan anak tidak mempunyai cukup waktu untuk bermain dan menyegarkan otaknya dari kepenatan setelah mempelajari bahan pelajaran yang jauh dari kata menyenangkan.
Memang, sekali lagi, beratnya tuntutan kurikulum bukan salah guru dan orang tua. Mereka juga korban dari suatu sistem.
Kiranya kurikulum darurat tidak hanya "cantik" di atas kertas, namun juga tidak membebani anak-anak Indonesia dengan segebung materi pelajaran yang seakan tak habis-habisnya mendera.
Belajar penting, tapi waktu bermain bagi anak juga sama pentingnya.
* * *
Sudahkah anak mendapat 3 hak tadi?
Biarlah kita masing-masing mengevaluasi diri, baik itu pemerintah selaku pengambil kebijakan, berbagai lembaga pendidikan sebagai pihak yang menjalankan kebijakan tersebut, dan orang tua sebagai lembaga terkecil yang langsung bersinggungan dengan tumbuh kembang anak.
Yang jelas, jangan sampai anak-anak kita menjadi generasi yang melempem dan tidak tahan uji di masa depan; karena generasi tangguh dan berguna bagi nusa bangsa ditentukan dari pendidikan sejak dini dan lewat perencanaan yang matang, jelas, dan terarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H