Padahal mapel-mapel lain juga sama pentingnya. Ditambah lagi, minat dan kemampuan setiap anak tidaklah sama. Mungkin ada anak yang tidak terlalu menyukai Matematika, tapi dia kuat dalam bidang Bahasa Inggris. Begitu juga sebaliknya, ada anak yang "lemah" di Bahasa Inggris, tapi dia sangat berminat dalam Matematika.
Saya terkesan dengan film "Ron Clark" yang menceritakan tentang seorang guru baru di suatu sekolah yang penuh dengan permasalahan peserta didik yang rumit.
Anda bisa menonton filmnya langsung, melihat bagaimana Pak Guru Ron Clark mengatasi masalah minimnya minat belajar murid-muridnya. Yang menjadi fokus saya adalah pemberian penghargaan di saat membagi rapor di akhir semester.
Ada peserta didik yang unggul di bidang sains. Ada peserta didik yang piawai dalam segi kesenian. Ada peserta didik yang mahir dalam bahasa. Setiap siswa mendapat penghargaan disesuaikan dengan minat mereka masing-masing.
Jangan menyamaratakan kemampuan dan minat semua peserta didik, karena setiap anak itu unik adanya. Berikan penghargaan yang sepantasnya sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing.
Hak #3 - Hak untuk memperoleh waktu bermain yang memadaiÂ
Keluhan-keluhan yang saya dengar dari peserta didik selama hampir sembilan bulan ini menyuarakan hal-hal yang sama.
Capek, bosan, ...
Orang dewasa saja butuh refreshing, apalagi anak-anak.
PR bertumpuk setiap hari, menyebabkan anak tidak mempunyai cukup waktu untuk bermain dan menyegarkan otaknya dari kepenatan setelah mempelajari bahan pelajaran yang jauh dari kata menyenangkan.
Memang, sekali lagi, beratnya tuntutan kurikulum bukan salah guru dan orang tua. Mereka juga korban dari suatu sistem.
Kiranya kurikulum darurat tidak hanya "cantik" di atas kertas, namun juga tidak membebani anak-anak Indonesia dengan segebung materi pelajaran yang seakan tak habis-habisnya mendera.