Selama 20 tahun lebih berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya melihat dan mengalami sendiri kalau peserta didik masih menjadi "objek", bukan "subjek" dalam pendidikan.
Kebanyakan guru hanya "menyuapi" peserta didik dengan berbagai ilmu pengetahuan dan peserta didik tidak boleh protes. "Sebutkan" adalah andalan dari kata pertama setiap pertanyaan yang mendominasi dalam soal ujian.
Hafalan dan segebung teori. Minim praktik.
Apakah itu salah guru? Tentu saja tidak, karena guru hanya menjalankan tugas sesuai kurikulum yang disusun oleh pemerintah. Orangtua pun juga tidak bersalah kalau mereka mendesak anak untuk menghafal, menghafal, dan menghafal. Mau bagaimana lagi? Wong mereka memenuhi tuntutan dari guru yang notabene juga tuntutan dari kurikulum.
Dalam hal ini, sudah jelas dan terang benderang kalau kurikulum Indonesia suka bergonta-ganti kulit atau sampul luar, tapi sebenarnya isi, menurut saya, sama saja. Terlalu fokus pada segi kognitif, nilai di atas kertas, tapi mengabaikan segi afektif dan psikomotor, meskipun "katanya" mendapat porsi seimbang dalam kurikulum.
Mudah-mudahan, harapan sangatlah besar, semoga kurikulum darurat saat ini lebih "ramah anak" dengan tujuan-tujuan yang "benar" demi kemajuan anak; dan "terarah" sehingga tidak membuat bingung banyak pihak, baik itu guru, anak, maupun orang tua.
Hak #2 - Hak untuk mendapatkan penghargaan yang sepantasnya
Menurut saya pribadi, tidak ada yang namanya mata pelajaran yang tidak penting. Semuanya penting.
Kenapa saya mengatakan seperti itu?
Karena kita sudah melihat bahwa hanya segelintir mata pelajaran (mapel) yang menjadi mapel wajib di Ujian Nasional (UN). Meskipun UN sudah tidak ada lagi, tapi penerapan di kebanyakan sekolah tetap saja sama.
Mapel-mapel tertentu seperti Matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan lain-lain tetap sebagai tolok ukur keberhasilan suatu sekolah.Â