Diskon? Siapa sih yang tidak suka?
Setiap orang, kalau diperhadapkan dengan harga miring atau harga coret, kemungkinan besar akan tergoda untuk membeli produk yang dipromosikan.
Saya pun pernah punya pengalaman seperti itu. Tergoda dengan rayuan "diskon tanggal cantik"
Dulu, waktu saya masih "unyu-unyu", saya mudah sekali terpesona dengan berbagai tawaran promo produk.Â
Saya membeli produk karena "terdesak" dengan mepetnya waktu promo atau diskon yang bertepatan dengan "tanggal cantik", hari raya, atau akhir tahun.
Kebanyakan yang saya beli waktu itu adalah buku-buku seputar bisnis online dan motivasi dari penulis-penulis yang sudah lama saya ketahui dari beberapa kali penelusuran tulisan-tulisan mereka di media sosial dan blog-blog yang mereka punya.
Karena ingin memiliki berbagai buku tersebut dan merasa bahwa kesempatan mendapat harga miring tadi tidak bakal terulang kembali menyebabkan saya membeli buku-buku tersebut.
Kebanyakan saya membeli buku-buku tersebut melalui media sosial semisal facebook dan instagram, serta blog, karena memang kebanyakan pebisnis online berkiprah, membagikan tulisan-tulisan yang bernas di tiga media tersebut.
Penulis-penulis tersebut menempatkan iklan promo di medsos dan blog mereka, tiga hari, seminggu, atau satu bulan sebelumnya, dengan harga miring atau harga coret yang terkesan atau menimbulkan kesan kalau buku-buku mereka murah sekali dengan kualitas wah ditambah dengan berbagai bonus seperti audio book atau e-book yang berlimpah, bonus- bonus yang menggiurkan dan kalimat sakti "tidak akan ada lagi promo seperti ini di kemudian hari".
Akibatnya saya bergegas mentransfer ke rekening penjual supaya tidak kehabisan stok.
Itu hal yang bisa dibilang bagus karena saya membeli buku-buku bisnis yang memang saya perlukan untuk pengembangan diri.
Namun, ada juga pembelian-pembelian panik atau biasa disebut panic buying yang dipicu oleh banyak hal, seperti misalnya karena mantan murid yang menjadi pramuniaga sewaktu saya membeli smartphone merek B dengan harga promo, padahal saya sejak di rumah sudah berencana membeli smartphone merek A.
Akibatnya? Penyesalan, karena merek B tersebut bukan merek yang sudah dikenal banyak orang dan waktu ada kerusakan, sudah tidak ada suku cadangnya, sehingga tidak bisa diperbaiki lagi. Untung saya sudah menggunakannya selama tiga tahun, jadi tidak terlalu rugi, meskipun selama tiga tahun tersebut, smartphone merek B ini lebih banyak nyusahin daripada memudahkan penggunaan.
Ada juga beberapa panic buying lainnya, semisal pembelian software-software yang pada akhirnya tidak memberikan kegunaan yang signifikan pada peningkatan omzet jualan saya.
Bagaimana menyikapi rayuan "diskon tanggal cantik"?
Dari berbagai pengalaman tersebut menjadikan saya semakin dewasa dalam menyikapi rayuan "diskon tanggal cantik".
Walaupun gempuran datang bertubi-tubi, saya tidak gegabah. Saya tetap menjalankan tiga langkah sebelum memutuskan membeli produk-produk tersebut.
Apa saja tiga langkah tersebut?
1. Cermati apakah produk itu untuk memenuhi "kebutuhan" atau "keinginan"
Terkadang kita tidak bisa membedakan "kebutuhan" dengan "keinginan".
Saya juga dulu mengalami, terutama menyangkut kepemilikan smartphone. Godaan memiliki smartphone yang lebih baik dari segi fitur dan jeroan di dalam membuat saya "gelap mata".
Mulai dari Blackberry sampai Android sekarang, lumayan banyak smartphone yang sudah pernah saya jajal.
Apakah gonta-ganti smartphone dulu adalah "kebutuhan" bagi saya?
Saya bisa katakan bahwa kebiasaan gonta-ganti smartphone di masa unyu-unyu saya dulu bukan "kebutuhan", tapi "keinginan" untuk memuaskan rasa ingin tahu saya, tapi tidak menghasilkan apa-apa, malah keluar uang percuma.
Sebatas ingin tahu fitur canggih dan jeroan di dalam smartphone. Padahal kalau dipikir sekarang, pada dasarnya, fungsi dari smartphone kurang lebih sama saja, meskipun berbeda merek.
Dari pengalaman "gonta-ganti smartphone tanpa pikir panjang" tersebut, saya tidak gegabah lagi dalam membeli smartphone.
Biasanya saya menulis di atas kertas keunggulan dari dua atau tiga merek smartphone tipe tertentu yang mempunyai kisaran harga yang kurang lebih sama dan mempunyai spesifikasi yang mirip. Itupun setelah smartphone lawas saya rusak, sehingga mau tidak mau saya harus membeli smartphone baru, supaya "kebutuhan" saya akan komunikasi, menulis, dan bisnis bisa tetap berjalan.
Saya menuliskan kelebihan dan kelemahan setiap smartphone di atas kertas. Dengan begitu, saya bisa menentukan pilihan secara objektif, sesuai dengan "kebutuhan" saya akan smartphone yang cepat dari segi akses, mempunyai memori yang cukup besar, fitur-fitur yang menunjang pekerjaan, dan lain-lain.
Menulis di atas kertas tentang apakah saya sangat membutuhkan smartphone tersebut juga membantu saya melihat bahwa harga yang dikeluarkan sesuai dengan kegunaan yang saya dapatkan.
2. Tunda transaksi selama 24 jam atau lebih
Jikalau ada niat "ingin" membeli sesuatu, saya menunda transaksi membeli selama 24 jam atau lebih.Â
Kenapa menunda?
Karena terkadang, menunda adalah jalan terbaik bagi saya untuk melihat secara jelas, apakah itu memang benar-benar "kebutuhan" atau hanya sekadar "keinginan". Apakah hasrat untuk memiliki produk tersebut masih tetap besar di hari kedua atau setelah mendiamkan selama lebih dari dua-tiga hari bahkan seminggu?
Biasanya, saya bisa melihat bahwa ternyata produk tersebut tidak begitu mendesak untuk dimiliki, menimbang ada berbagai kebutuhan lain yang juga lebih penting untuk dipenuhi segera.
Biasanya, seperti di poin pertama, saya menuliskan berbagai produk yang saya pikir penting untuk saya miliki secepatnya di atas kertas, lalu saya mengecek ketersediaan stok produk-produk tersebut di toko fisik atau toko online. Kalau sudah mengetahui ketersediaan stok yang lebih dari cukup, saya mengendapkan terlebih dahulu minimal 24 jam alias sehari, dua hari, bahkan pernah sampai seminggu.
Tujuannya adalah saya menguji niat saya untuk memiliki produk tersebut setelah 24 jam atau lebih dari sehari. Apakah masih besar niat untuk membeli produk tersebut setelah lewat dari sehari?
Sekali lagi, "kebutuhan" yang perlu dipenuhi, bukan "keinginan". Kalau sampai "keinginan" yang memegang kendali, habislah sudah keseimbangan neraca keuangan keluarga.
3. Usahakan membeli produk untuk (melakukan) hal yang produktif
Saya berusaha untuk tidak membeli produk yang bersifat konsumtif.Â
Tentu saja, kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan merupakan pengecualian.
Maksud saya di sini adalah sedapat mungkin saya mengusahakan membeli produk untuk hal yang produktif, berguna untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif demi menjaga asap dapur tetap mengepul.
Misalnya, membeli sepeda motor supaya dapat pergi ke tempat kerja dengan leluasa dan hemat biaya. Bayangkan kalau naik angkot ke berbagai sekolah, kursus, dan les privat, berapa duit yang harus dikeluarkan?
Begitu juga dengan smartphone. Bagi saya, fungsi lebih penting daripada gengsi. Terserah kalau orang lain ingin membeli smartphone teranyar dan tercanggih keluaran terbaru, tapi sangat disayangkan kalau hanya sekadar untuk hahahihi di medsos, nonton video YouTube demi mencari hiburan, dan main game online seharian.
Saya membeli smartphone dengan beberapa pertimbangan. Selain tentang mumpuninya fitur dan jeroan smartphone, saya menggunakan smartphone untuk mendapatkan uang lewat menulis dan berbisnis online.
Selain itu, saya juga sangat terbantu dengan berbagai aplikasi yang mendukung kebiasaan membaca yang saya sudah punyai sejak kecil. Semangat membaca semakin membara dengan berbagai buku elektronik di dunia maya tanpa perlu berpayah-payah membawa banyak buku fisik kemana-mana.
Sangat disayangkan kalau kebanyakan generasi muda yang saya lihat malah menyibukkan diri dengan gaya hidup hedonisme, tergoda rayuan "diskon tanggal cantik" dengan harga coret smartphone terbaru dan terbujuk membeli, padahal ujung-ujungnya mereka gunakan untuk hal-hal konsumtif yang tidak menghasilkan apa-apa, apalagi di saat pandemi covid-19 saat ini.
Mudah-mudahan Anda, sekiranya sebagai generasi muda yang sedang membaca tulisan ini, mempergunakan smartphone untuk hal-hal yang produktif.
* * *
Tanggal cantik akan tetap terus berulang. 11.11 di bulan November ini; 12.12 di bulan Desember mendatang; 01.01 di Januari 2021; 02.02 di Februari 2021; dan seterusnya, dan selanjutnya. Tidak akan ada habisnya.
Maka dari itu, saya tetap yakin, selalu tetap akan ada kesempatan lain dalam memperoleh suatu produk, entah dari merek yang sama di kemudian hari maupun dari merek yang lain.
Yang penting, jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang, lebih besar pengeluaran daripada pendapatan.
Itu akan selalu menjadi pedoman saya. "Kebutuhan" akan selalu menjadi prioritas utama dalam kehidupan saya dan keluarga, bukan "keinginan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H