“Wih, seperti guru gitar profesional, Ton. Mirip Jubing Kristianto.”
Komentar dari Winda (bukan nama sebenarnya), teman SMP dulu, agak sedikit berlebihan. Tentu saja, dibanding Pak Jubing Kristianto, ilmu gitaran saya tidak ada apa-apanya. Beliau sudah lama malang melintang dan centang perenang dalam mengajar gitar klasik. Saya? Mengajar gitar klasik ke satu murid pun belum pernah!
Tapi saya merasa senang juga mendapat apresiasi seperti itu. Menyamakan kemampuan gitaran seperti Pak Jubing tentu saja merupakan suatu kehormatan, meskipun pada kenyataannya, saya masih jauh levelnya di bawah beliau.
Apakah ada minat menjadi guru gitar?
Kalau ada yang menanyakan perihal apakah ada minat menjadi guru gitar atau tidak, saya akan menjawab, “Tentu saja, saya minat, tapi tidak sekarang.”
Apa alasannya?
1. Saya tidak pernah mengikuti pendidikan musik secara formal, jadi kurang menguasai teknik bermain gitar klasik
Inilah yang menjadi persoalan. Bekal saya untuk mengajar gitar klasik masih belum cukup untuk mengajar gitar.
Tidak cukup hanya bermodalkan pengetahuan dan pengalaman gitaran secara autodidak, namun juga perlu belajar di lembaga pendidikan formal, karena dengan begitu pola dan materi pembelajaran akan tergambar secara sistematis dan runtut.
Ini menurut pendapat saya. Tapi bukan berarti guru gitar hasil dari belajar secara autodidak tidak bagus. Pasti ada yang bagus, asal mereka juga belajar untuk membuat sistematika pembelajaran secara berjenjang, supaya arah proses belajar mengajar bisa jelas dan bertahap.
Kalau saya pribadi, kelak saya ingin mengambil kursus gitar klasik untuk memperdalam ilmu gitaran saya, karena meskipun saya sekarang belajar secara autodidak, saya merasa skill gitaran saya tidak terlalu maju secara signifikan.
2. Kurangnya minat masyarakat untuk belajar gitar klasik
Sebetulnya ini bukan rahasia lagi.
Bagi kebanyakan masyarakat, gitar dianggap kalah “kelas” dibanding piano, biola, dan keyboard.