Tatkala mereka berdua tiada, saya pun jadi mati rasa dan mati gaya.
Bingung.
Untungnya, kebingungan saya tak berkelanjutan.Â
Saya ambil buku jurnal dan pulpen. Mulailah saya menulis di buku jurnal yang sudah cukup lama saya telantarkan.
Saya menulis apa saja yang menjadi unek-unek di hati. Semua saya tuangkan. Tidak ada yang saya tutup-tutupi, karena siapa sih yang tahu isi jurnal saya? Yang tahu hanya saya dan Tuhan. Kecuali kalau buku ini hilang, tercecer di jalan, itu menjadi soal besar.
Sebenarnya di bisnis online pun saya tetap menulis. Tentu saja, menulis untuk kepentingan bisnis dan demi larisnya dagangan. Namun, kesannya memang beda. Menulis di Kompasiana menimbulkan rasa rindu.
Rindu untuk kembali lagi.
Kalau istilahnya orang Samarinda, "Kalau sudah terminum air dari Sungai Mahakam, ke mana pun perginya, pasti akhirnya akan kembali lagi ke Samarinda."
Mungkin seperti itulah kondisi saya. Dulu senang menulis di mari, lalu beralih ke aktivitas lain, namun kembali lagi kemari, karena rindu.
Saya menulis di lembar kertas HVS Folio dengan pulpen atau pensil. Tergantung keadaan hati. Berlembar-lembar tulisan dihasilkan dari gerakan pulpen dan pensil. Herannya, entah hanya perasaan atau memang kenyataan, justru dari tulisan tangan, artikel yang saya tayangkan kebanyakan mendapat predikat Artikel Utama (AU) di bulan-bulan sebelumnya.