Doni (nama samaran) mengutarakan kebulatan tekad untuk hidup mandiri. Meskipun terdampak pandemi covid-19 yang mengakibatkan pendapatannya berkurang drastis, dia tidak mau kembali tinggal di rumah kakaknya, Lusi.
"Saya akan tetap berusaha bertahan, memperketat pengeluaran, sembari mencari pekerjaan lain, karena mengajar les kurang bisa diharapkan saat ini," kata Doni lagi.
Sebenarnya bukan hanya Doni. Saya pernah menemui masalah antara adik bungsu dan kakak seperti dalam kasus Doni.
Kebanyakan kasus adalah antara adik bungsu berjenis kelamin laki-laki dengan kakak perempuan. Setelah itu, antara adik bungsu berjenis kelamin perempuan dengan kakak laki-laki.
Beberapa kenalan dan mantan murid saya mengalami masalah dengan kakak atau adik mereka, seperti Doni sebagai adik bungsu; atau beberapa kakak, yang adalah kenalan saya, bermasalah dengan adik-adik bungsu mereka.
Doni, contoh di awal tulisan ini, berseteru dengan Lusi, kakak perempuannya, karena Lusi menganggap adik bungsunya ini malas, tidak bertanggung jawab atas kebersihan rumah yang mereka tempati bersama, dan lain sebagainya.
Alih-alih berdiskusi, komunikasi, dialog; tiba-tiba pada suatu hari, Doni mendapati selembar kertas berisi jadwal bersih-bersih selama seminggu penuh tertempel manis di depan pintu kamarnya.
“Saya sebenarnya tidak keberatan kalau itu didiskusikan dulu dengan saya sebelumnya. Masalahnya, Kak Lusi cuma manyun aja selama ini. Tak pernah bicara apa-apa. Tahu-tahu jadwal sialan itu dia keluarkan begitu saja tanpa kompromi sebelumnya dengan saya!
“Pendapat saya tidak dihargai dan saya seakan-akan dianggap menumpang, serta dipikirnya tidak tahu diri.
“Oleh karena itu, saya memilih indekos daripada tinggal serumah dengan saudara, paman, bibi, atau famili. Lebih bebas. Tidak serba salah. Tidak dianggap menumpang gratis,” Doni mengakhiri alasan mengapa dia tidak mau tinggal serumah dengan sang kakak.
Dari berbagai kenalan yang mempunyai pengalaman serupa, saya menganalisa mengenai alasan kenapa sang adik bungsu tidak mau tinggal serumah dengan sang kakak.
Saya menyimpulkan, ada tiga alasan kenapa sang adik bungsu tidak mau tinggal serumah dengan sang kakak.
1. Si Adik Bungsu merasa dia terus diperlakukan sebagai pesuruh, anak manja, dan tidak mandiri oleh si kakak
Stigma “anak manja” dan “bisa disuruh-suruh” melekat di benak kebanyakan orang.
Padahal, tidak semua anak bungsu itu manja dan tidak mandiri.
Doni, sebagai contoh.
Dia tidak seberuntung kebanyakan anak bungsu lainnya yang bisa bermanja-manja pada orangtua. Dia tidak bisa meminta apapun yang menjadi keinginannya pada ayah dan ibu.
Keluarga besar. Sembilan anak dalam keluarga. Tentu saja, butuh biaya besar untuk menghidupi keluarga besar seperti ini.
Tapi, yang lebih membuat Doni sangat berbeda dibanding anak bungsu yang lain adalah sejak SMP, keluarganya hidup susah, karena usaha sang ayah bangkrut.
Akibatnya, semua aset, berupa tanah dan rumah terpaksa “direlakan” terlepas dari genggaman untuk melunasi hutang pinjaman dari bank.
Pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan berikut; makan seadanya dengan tempe, tahu, mie instan, dan lain-lain; dua kali berpindah angkot ke sekolah dan begitu juga sebaliknya, dari sekolah ke rumah; dan masih banyak lagi ketidaknyamanan lainnya yang dia hadapi.
Jadi, kalau menganggap “semua anak bungsu itu manja, tidak mandiri, apapun yang mereka minta dituruti, tentu saja itu opini yang keliru.
Perlakuan tidak pantas dari kebanyakan kakak adalah menyuruh-nyuruh sang adik bungsu seakan-akan pesuruh yang harus menurut tanpa protes.
“Enak. Bisa disuruh-suruh si Fandi sekarang,” kata Mawar (nama samaran), menceritakan adik bungsunya, Fandi (bukan nama sebenarnya) yang selisih umurnya jauh dengan Mawar dan masih bersekolah di salah satu SD, di kelas lima, sedangkan Mawar sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta.
Menyuruh adik bungsu untuk melakukan sesuatu sebenarnya sah-sah saja, tapi harus tetap menggunakan etika.
“Sebenarnya tidak masalah kalau Kak Lusi menyuruh saya. Cuma terkadang dia menyuruh saya tanpa menimbang saya sibuk atau tidak waktu itu.
“Misalnya, saat saya sedang menulis artikel di smartphone karena laptop rusak, Kak Lusi menyuruh saya, ‘Don, sini, potong wortel. Daripada kamu nongkrong aja. Gak ngapa-ngapain.’
“Angkat ini, bawakan itu. Dia kira, saya main game saat pegang smartphone. Padahal saya lagi nulis artikel dan jualan online untuk cari duit!” pungkas Doni.
“Seandainya ada kata ‘Tolong’ atau ‘Maaf, Don. Kamu lagi sibuk?’, saya pasti akan melakukan suruhan tanpa mengomel,” tambah Doni lagi.
2. Si Adik Bungsu ingin membuktikan kalau dia bisa mandiri dan tidak manja seperti anggapan sang kakak
Doni dan beberapa kenalan yang berstatus “anak bungsu” menyuarakan hal yang sama.
Mereka ingin membuktikan kalau mereka bisa mandiri dan tidak manja seperti anggapan kakak-kakak mereka.
Makanya, mereka memutuskan untuk indekos, hidup terpisah dari para kakak. Mereka ingin memperlihatkan kepada keluarga besar kalau mereka bisa mandiri dan tidak manja.
Bahkan, kebanyakan dari para “anak bungsu” yang saya kenal ini berlaku “radikal” dengan menolak bantuan dana dari keluarga.
“Saya mengatakan pada orangtua dan kakak-kakak saya supaya mereka tidak usah mengirim uang ke saya, karena saya sudah bekerja. Saya sudah memperoleh pendapatan sehingga bisa membiayai kehidupan saya sendiri,” kata Doni.
3. Si Adik Bungsu tidak ingin terus-menerus tergantung dan “berada di bawah bayang-bayang” Sang Kakak
Kebersamaan antar anggota keluarga tidak mungkin akan langgeng selamanya. Ada yang nanti akan menikah. Ada juga mungkin yang meninggal sebelum usia lanjut.
Tak mungkin terus bersama dengan saudara, terutama kalau saudara tersebut sudah menikah. Takut mengganggu dan merepotkan rumah tangga saudara.
Kebanyakan “Anak Bungsu” yang saya kenal tidak merasa “nyaman” berada di bawah bayang-bayang Sang Kakak.
“Saya tidak ingin terus-menerus tergantung pada Kak Lusi atau kakak-kakak yang lain. ‘Zona nyaman’ yang betul-betul tidak nyaman,” kata Doni tandas.
Mereka ingin sesegera mungkin mandiri, karena bagi mereka, semakin lama tergantung pada kakak, semakin melenakan dan semakin sukar untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada sang kakak, terutama ketergantungan akan tempat tinggal dan finansial.
Saran Saya untuk Sang Adik Bungsu
Seandainya Anda, yang saat ini sedang membaca tulisan ini, berposisi sebagai adik bungsu dan sedang berseteru dengan sang kakak, perkenankan saya memberi saran kepada Anda.
1. Berkomunikasilah, berdialog secara bijak dengan kakak Anda, untuk memecahkan masalah
Kesalahpahaman terjadi karena kurangnya komunikasi. Keengganan dan prasangka terlalu mengambil alih pikiran.
Padahal, seandainya kedua belah pihak berkomunikasi, duduk bersama, berdialog secara bijak, masalah pun bisa terpecahkan.
Dibutuhkan kedewasaan dari sang adik bungsu dalam mengutarakan kepada sang kakak perihal hidup damai di bawah satu atap yang menjunjung asas demokrasi, bukan otoriter.
2. Kalaupun memang tidak ada titik temu atau kesepahaman, mandiri adalah jalan terbaik, apalagi kalau usia sudah dewasa
Yang namanya dialog akan menghasilkan dua kemungkinan hasil. Sepakat atau tidak sepakat. Ada titik temu atau tidak ada titik temu.
Kalau menemui titik temu atau kesepahaman, baguslah.
Tapi kalau tidak ada titik temu, tidak ada kesepahaman, pilihan untuk mandiri adalah jalan terbaik. Apalagi kalau usia sudah dewasa.
Tentu saja, di awal memulai, sangat tak mudah, namun lama kelamaan akan terbiasa.
3. Tunjukkan kepada sang kakak dan keluarga besar bahwa Anda bisa mandiri. “Bayar lunas” dengan kesuksesan dalam prestasi kuliah dan karir
Sekadar mandiri tanpa bukti nyata memang kurang geregetnya.
Jika Anda seperti orang-orang indekos pada umumnya, yang hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang (kupu-kupu) bagi mahasiswa atau kerja-pulang-kerja-pulang bagi karyawan tanpa peningkatan kualitas hidup, Anda hanya akan menjadi manusia rata-rata.
Tunjukkan kepada kakak dan keluarga besar kalau Anda bukan sekadar mandiri, tapi juga menunjukkan kesuksesan dalam prestasi kuliah (kalau Anda mahasiswa) atau karir (kalau Anda karyawan).
Dengan begitu, keraguan mereka, ketidakpercayaan mereka akan ketidaksanggupan Anda akan sirna, karena mereka melihat bukti.
Saran Saya untuk Sang Kakak
Seandainya Anda, yang membaca tulisan ini, adalah sang kakak, perkenankan saya memberikan saran untuk Anda.
1. "Posisikan diri Anda" sebagai Sang Adik Bungsu
Terkadang kita mudah sekali menilai seseorang dari sudut pandang kita, dari kacamata kita pribadi. Kebanyakan dari kita hanya memandang dari satu sisi saja.
Kalau Anda ingin memahami jalan pikiran adik bungsu Anda, Anda harus mengambil "posisi" sebagai adik Anda.
Ambil sehelai kertas, bayangkan kenapa Anda (dalam posisi sebagai adik bungsu) tidak suka tinggal serumah dengan kakak.
Jujurlah pada diri sendiri. Tulis kekurangan-kekurangan Anda selama ini yang Anda tidak sadari yang membuat jengkel sang adik.
Anda bisa juga menelaah kasus serupa lewat buku, artikel di internet, atau orang-orang yang mempunyai masalah yang sama dengan kakak-kakak mereka.
Anda tuangkan prediksi alasan-alasan keengganan sang adik bungsu di atas kertas, supaya jelas dan objektif.
2. Jangan memaksakan kehendak Anda pada Sang Adik Bungsu. Berkomunikasilah. Berdialoglah secara bijak
Setelah memosisikan diri sebagai adik bungsu, Anda tetap harus ingat bahwa Anda tidak boleh egois.
Jangan memaksakan kehendak Anda pada sang adik bungsu. Berkomunikasilah dengan sabar. Berdialoglah secara bijak.
Bicaralah secara baik-baik. Perlakukan adik Anda sebagai orang dewasa, bukan anak kecil.
Dengarkan perkataan adik Anda sampai selesai. Jangan menyela. Kalaupun Anda tidak setuju dengan pendapatnya, tunggu sampai dia selesai bicara. Setelah dia selesai, baru Anda utarakan pendapat Anda.
3. Hargailah keputusan Sang Adik Bungsu jika dia ingin mandiri, memilih tinggal terpisah dari Anda
Kalaupun sang adik bungsu tetap bersikeras ingin mandiri, memilih tinggal terpisah dari Anda, Anda sebaiknya menghargai keputusan sang adik.
Cepat atau lambat, adik Anda akan berpisah dengan Anda. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Kebersamaan tidak akan langgeng selamanya.
Percayalah pada adik Anda bahwa dia bisa menjaga dirinya sendiri. Anda memberikan kepastian kepada sang adik bahwa Anda akan selalu menerimanya kembali di kala dia membutuhkan tempat tinggal atau memberikan pertolongan secara finansial.
Doakan yang terbaik untuk adik Anda. Jangan menerima nasihat dari kekhawatiran.
Ujaran-ujaran seperti "Aku takut kalau kamu kenapa-kenapa" atau memberikan nasihat seperti "Jangan suka marah-marah…" sebaiknya tidak dilontarkan. Itu justru memberikan konotasi kalau Anda masih menganggap sang adik sebagai anak kecil dan Anda masih belum percaya kalau dia bisa mandiri.
* * *
Akhir kata, harus ada hubungan yang baik dan harmonis di antara anggota keluarga. Berbeda pendapat itu wajar, tapi jangan sampai gara-gara ingin menang sendiri, merasa diri benar, tali silaturahmi jadi terputus.
Saling pengertian antara yang satu dengan yang lain; terjalin komunikasi dua arah (dialogis); dan saling menghargai; adalah tiga koentji di antara sekian banyak faktor yang menentukan eratnya hubungan keluarga dan persaudaraan.
Semoga terus terjaga keharmonisan di dalam keluarga.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H