Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wahai Para Anak, Hargailah Jerih Lelah Orangtua yang Sudah Memasak untuk Kalian!

10 Mei 2020   21:57 Diperbarui: 11 Mei 2020   04:29 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu dan anak yang memasak bersama.(Dok. ThinkStock/MIXA next via Kompas.com)

"Aku gak mau makan! Gak suka!"

"Aku mau kepiting besok ya, Ma. Gak mau yang lain."
"Aku kan gak minta kepiting lagi. Minggu lalu kan sudah."

Pernahkah Anda mendengar kalimat-kalimat seperti di atas dari putra-putri tercinta? 

Saya yakin, pasti pernah, meskipun jenis makanannya mungkin berbeda.

Melihat kondisi sekarang ini, mengamati anak-anak zaman now, membuat saya geleng-geleng kepala. 

Sangatlah sukar menemukan anak yang sopan, rajin, taat beribadah di masa teknologi canggih sekarang ini. Ada anak yang sopan, rajin, dan taat beribadah, tapi tidak banyak persentase-nya kalau menurut saya.

Kebanyakan ya kurang sopan (kalau mengatakan kurang ajar, sepertinya kurang elok), malas (pada umumnya mager, lebih suka rebahan sambil main game online), dan malas beribadah. 

Siapa yang salah dalam hal ini? Orangtua, sekolah, lingkungan, atau siapa? 

Agak sukar menentukan, karena setiap anak memiliki latar belakang keluarga, sekolah, dan lingkungan yang berbeda-beda. Tidak bisa disamaratakan. Tidak bisa dipukul rata sama semua.

Dalam hal ini, kita tidak akan membahas tentang salah-benar dalam mendidik anak dan bagaimana memecahkannya. 

Yang menjadi keprihatinan saya (dan mungkin juga keprihatinan dari mayoritas orangtua adalah kebanyakan anak tidak menghargai orangtua yang sudah berjerih lelah memasak untuk anak. 

Beberapa orangtua murid dan kenalan saya mengeluhkan anak-anak mereka yang tidak menghargai usaha mereka dalam membuat makanan sehat.

Mengapa kebanyakan anak berperilaku seperti itu? 

Seperti kalimat-kalimat tertulis sebelumnya, setiap keluarga mempunyai latar belakang dan masalah masing-masing. Daripada membicarakan kenapa anak berperilaku seperti itu, kenapa tidak membahas bagaimana mendidik anak supaya menghargai jerih lelah orangtua yang sudah memasak?

Anak memang perlu diberi pengertian untuk menghargai usaha orangtua dalam menyediakan makanan sehat yang terbaik buat mereka.

Dalam hal ini, saya teringat kepada pengalaman dari beberapa orangtua murid dalam mendidik putra-putri mereka untuk menghargai jerih lelah orangtua yang sudah memasak dan juga mensyukuri apa pun makanan yang terhidang. 

Mungkin bisa memberikan solusi bagi Anda, para orangtua, yang mengalami kondisi anak yang hanya mau makan makanan yang disuka dan kurang menghargai jerih lelah orangtua yang sudah memasak untuk anak. 

Ada tiga hal yang mereka lakukan.

1. Mendiskusikan menu untuk hari berikut dengan seluruh anggota keluarga

Ilustrasi diskusi di meja makan (Sumber : pixabay.com/272447)
Ilustrasi diskusi di meja makan (Sumber : pixabay.com/272447)
Mereka biasanya mendiskusikan menu apa yang akan mereka masak pada akhir pekan atau hari libur. 

Mengapa di akhir pekan atau hari libur?

Karena di hari libur dan akhir pekan, kebanyakan anggota keluarga ada di rumah. Itu kalau dalam kondisi normal. Dalam keseharian, karena orangtua sibuk bekerja dan anak belajar di sekolah, bisa dikatakan makan pun ala kadarnya. 

Akhir pekan dan hari libur menjadi pilihan waktu yang tepat untuk mengetahui apa makanan yang anak suka, dan keluarga akan memutuskan makanan sesuai kesepakatan bersama. 

Kalau sekarang, justru bisa diskusi setiap hari. Di masa pandemi covid-19 dimana anjuran #workfromhome dan #studyathome, anak-anak otomatis ada di rumah di sepanjang waktu. Jadi makanan pun perlu disesuaikan supaya anak betah di rumah dan tidak tergoda dengan makanan di luar rumah. 

Menentukan menu makanan untuk esok hari memang tidak mudah. Anak biasanya menyukai makanan yang mungkin dari segi rasa enak di lidah, namun belum tentu bergizi.

Di sinilah peran orangtua untuk mendidik anak, meyakinkan anak akan pentingnya gizi seimbang yang sesuai dengan komposisi empat sehat lima sempurna. Dengan begitu, anak akan mengerti pentingnya memilah mana makanan yang mempunyai gizi yang memadai dan baik untuk dikonsumsi dan mana yang tidak. 

2. Ajak anak saat berbelanja di pasar atau tukang sayur di dekat rumah; atau Anda dan anak memesan bahan makanan dengan menggunakan jasa layanan antar

Ilustrasi pasar tradisional (Sumber : pixabay.com/yazidnasuha)
Ilustrasi pasar tradisional (Sumber : pixabay.com/yazidnasuha)
Kalau sudah sepakat dengan menu, esok pagi, orangtua sebaiknya mengajak anak untuk berbelanja bersama di pasar atau tukang sayur di dekat rumah. 

Tujuannya adalah agar anak tahu betapa tidak mudahnya untuk memilih bahan makanan untuk dimasak nanti. Selain itu, juga mendidik anak tentang profesi penjual di pasar, betapa mereka berjuang di tengah ketidakpastian dagangan laku atau tidak. 

Anak juga jadi tahu harga berbagai bahan makanan, seperti ayam, ikan, sayur, dan lain-lain. Dengan begitu, mereka akan lebih memahami kalau setiap bahan itu mempunyai "harga", sehingga kalau mereka menginginkan sesuatu, harus memikirkan apakah uang orangtua tidak terkuras untuk membeli bahan tertentu, seperti kepiting di awal tulisan ini. Masa setiap hari beli kepiting terus! Bisa tekor!

Tapi karena sekarang ada pandemi covid-19, orangtua dan anak sebaiknya menggunakan jasa layanan antar, seperti menggunakan jasa ojek online atau jasa layanan antar belanjaan dari penjualnya langsung. 

Perlihatkan pada anak cara memesan bahan makanan lewat aplikasi dan tunjukkan harga setiap bahan. Dengan begitu, anak bisa mengetahui harga setiap bahan dan total pengeluaran, jadi mereka lebih menghargai setiap rupiah yang keluar dan lebih menghargai makanan di hadapan kalau mereka mempunyai pemikiran untuk membuang makanan yang tidak mereka suka. 

3. Libatkan anak dalam proses memasak

Ilustrasi ibu dan anak yang memasak bersama.(Dok. ThinkStock/MIXA next via Kompas.com)
Ilustrasi ibu dan anak yang memasak bersama.(Dok. ThinkStock/MIXA next via Kompas.com)
Mungkin untuk anak usia dini, orangtua cukup memberikan tugas yang ringan terlebih dahulu, seperti mencuci sayur, memberi garam dan gula ke masakan yang sedang diolah sesuai arahan orangtua, mengaduk masakan dengan tetap ada pengawasan dari orangtua, dan lain sebagainya. 

Tujuannya adalah supaya anak mengalami langsung proses memasak, bukan hanya sekadar melihat hasil akhirnya saja dalam bentuk masakan dan tinggal menyantap.

Anak akan lebih menghargai orangtua karena mereka terlibat dalam memasak. Memasak itu butuh waktu, proses yang cukup lama untuk meracik dan mengolah berbagai bahan sehingga menjadi masakan yang lezat.

Beberapa orangtua murid yang saya kenal memperlihatkan kepada saya sewaktu saya berada di rumah mereka. Anak-anak mereka terlibat langsung dalam proses memasak dengan orangtua. Bukan hanya anak perempuan, namun anak laki-laki juga terlibat di dalamnya. 

Saya merekomendasikan sebuah film yang berhubungan dengan ketiga poin ini. Film "Chef" yang dibintangi oleh Jon Favreau dapat menjadi contoh yang baik.

Di dalam film tersebut, selain anak mempunyai "hak suara" dalam menentukan menu, dia juga tahu harga beberapa bahan makanan dan berbagai peralatan yang digunakan. Ayahnya mengajarkan semuanya itu pada sang anak, dan tentu saja sang ayah mendidik anaknya dalam menjalankan proses memasak yang sangat menarik.

Tak ketinggalan, sang anak mendapat nilai moral tentang seni memasak, juga menghargai akan arti masakan, bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk orang lain. 

Saya sarankan Anda menonton film ini. Film yang sangat bagus, sesuai dengan ketiga poin yang sudah kita bahas. 

Libatkan anak dalam proses memasak. Memasak bukan monopoli anak perempuan. Anak laki-laki pun harus bisa memasak. Dengan begitu, mereka bisa mengetahui dan menghargai bahwa tidak mudah membuat suatu masakan. Ada proses yang harus dilalui.

Siapa tahu, kelak ketrampilan memasak bisa menjadi profesi saat mereka dewasa. Kalaupun tidak menjadi profesi, anak-anak kita bisa memasak sendiri masakan yang sehat dan bergizi untuk keluarga mereka masing-masing di masa mendatang. 

* * *

Demikianlah sedikit berbagi pengalaman dari para orangtua murid yang tidak bisa saya sebutkan nama-namanya, karena selain beberapa orangtua tersebut dari tahun-tahun yang berbeda dalam rentang 20 tahun saya mengajar, juga saya sudah tidak ingat nama-nama mereka dan anak-anaknya.

Namun saya yakin, mereka tidak keberatan kalau saya membagikan trik mereka dalam mendidik anak supaya menghargai jerih lelah orangtua yang sudah memasak untuk keluarga.

Tugas kitalah sebagai orangtua untuk mendidik anak-anak kita supaya menghargai jerih lelah orangtua yang sudah memasak untuk mereka dan terlebih lagi, menghargai setiap makanan yang tersedia, tidak membuangnya dengan sia-sia, karena di masa pandemi covid-19 saat ini, banyak orang, bahkan untuk makan saja sudah tak bisa, karena tidak mempunyai uang untuk membeli bahan makanan. 

Kiranya tulisan ini bisa memberikan manfaat bagi Anda, para orangtua, yang mempunyai masalah kurangnya penghargaan dari anak dalam menyikapi jerih lelah orangtua yang sudah memasak untuk anak. 

Semoga Anda bisa mempraktikkannya di rumah, mendidik anak untuk menghargai jerih lelah orangtua yang sudah memasak demi keluarga.

"Didiklah anak untuk menghargai setiap makanan yang mereka peroleh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun