Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Event Cerita Mini] Sepeda Roda Tiga

7 Juli 2019   22:04 Diperbarui: 7 Juli 2019   22:35 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman masa kecil yang tak bisa kulupakan seumur hidupku adalah waktu aku mendapat sepeda roda tiga.

"Apa istimewanya pengalaman mendapat sepeda roda tiga?" mungkin seperti itu pemikiran teman-teman ^_^.

Bagi saya, itu merupakan pembelajaran yang penting dalam membentuk karakter saya ke depan. Mendapatkan sesuatu dengan pengorbanan.

Waktu itu aku baru masuk sekolah di kelas satu esde. Setiap hari, mulai hari pertama, aku selalu menangis kalau ayah membawaku ke sekolah.

"Kenapa, Ben? Kok nangis? Kan Bu Guru baik. Gak marahi Beni," bujuk Ayah, tersenyum sambil mengelus kepalaku.

"Bosan di kelas, Yah. Nulis terus. Capek. Bosan," jawabku.

Ayah terus berusaha membujuk, sampai akhirnya aku mau juga masuk kelas.

Namun, besok-besoknya, aku berbuat hal yang sama. Menangis. Ngambek. Tidak mau masuk kelas. Ayah berusaha sekuat tenaga, membujuk supaya aku mau masuk. Butuh waktu supaya aku mau masuk kelas dengan sukarela. Dengan permen atau cokelat yang Ayah berikan, baru aku mau masuk. "Nanti makan waktu istirahat ya," pesan Ayah.

Hal ini berlangsung cukup lama, sampai suatu hari, Ayah menjemputku seperti biasa, namun bukannya langsung pulang ke rumah, tapi singgah dulu di toko sepeda punya temannya.

Sepeda roda tiga dan dua terjejer rapi. Dari berbagai merek dan harga yang bervariasi.

"Kamu suka yang mana, Ben?" tanya Ayah tiba-tiba.

"Hah?" aku kaget, seakan salah dengar.

"Ayah tanya, kamu suka sepeda yang mana?" ulang Ayah, sambil tersenyum.

Aku memandang ke sepeda-sepeda itu. Semuanya bagus-bagus. Namun sepeda roda tiga warna biru tua, dengan tulisan Oregon-lah yang menjadi pilihanku.

"Yang ini, Yah," jawabku mantap. Aku sudah tak sabar ingin menaikinya.

"Ayah akan belikan buat Beni," kata Ayah.

"Beneran, Yah? Ayah gak bohong kan?"

"Beneran. Tapi ada syaratnya."

"Syarat? Syarat itu apa, Yah?"

"Syarat itu maksudnya, kalau Beni nurut sama Ayah, nanti Ayah belikan sepedanya."

"Kan Beni sudah nurut sama Ayah."

"Itu yang setiap pagi menangis, merajuk, tidak mau masuk kelas, tidak mau sekolah, itu tidak nurut sama Ayah. Harus ayah bujuk-bujuk dulu, baru mau masuk," Ayah berkata dengan lembut.

"Jadi, Ayah maunya apa?"

"Kalau Beni masuk kelas tanpa nangis-nangis lagi, tanpa dibujuk-bujuk lagi, Ayah akan belikan sepeda ini buat Beni," kata Ayah sambil memegang setang sepeda idamanku.

"Janji, Yah. Beni janji gak bakal nangis lagi. Gak bakal ngambek lagi. Besok Beni langsung masuk kelas. Ayo Yah, beli sepedanya," Aku langsung bersemangat.

"Oh, tidak sekarang belinya."

"Lho, kan Ayah sudah janji tadi," Aku protes.

"Iya, Ayah janji, tapi kalau lewat dari tujuh hari, Beni masuk kelas tanpa nangis dan ngambek, Ayah akan belikan."

"Baik, Yah," aku mengiyakan langsung, tanpa berpikir lagi.

Aku sangat menginginkan sepeda itu. Ayah memfoto sepeda itu dan berkata pada temannya yang punya toko sepeda itu, "Gun, aku booking sepeda ini ya. Sekarang tanggal 4, hari Kamis. Tanggal 13 minggu depan, hari Sabtu, kubeli. Kalau aku gak muncul, berarti kau lepas saja sepeda ini ke orang lain. DP-nya kau ambil aja, meskipun aku gak jadi beli nanti," kata Ayah, sambil menyerahkan sejumlah uang, entah berapa.

Ayah mengendarai mobil ke studio foto, "Rol film ayah sudah penuh. Mau cuci film," kata Ayah.

Setelah memberikan rol film ke pegawai studio film, kami pun pulang.

Malamnya, Ayah memberikan foto sepeda roda tiga yang difotonya tadi siang.

"Supaya Beni ingat sama janji Beni," kata Ayah, sambil menempelkan foto seukuran kertas A4 di dinding kamar, dan menempelkan juga di buku gambar yang selalu kubawa ke sekolah.

Esok pagi, menghitung hari dimulai. Hari pertama, aku sempat lupa dengan janjiku waktu menjejakkan kaki di halaman sekolah.

"Eh," kata Ayah, "Jangan lupa janjinya. Mau dapat sepeda, harus langsung masuk kelas."

Aku masuk kelas tanpa banyak bicara. Demi sepeda roda tiga, aku menurut.

Hari pertama berlalu.

Esok pagi, hari kedua juga berlalu begitu rupa.

Hari ketiga, berjalan seperti hari pertama dan kedua.

Namun hari keempat, aku mulai bosan lagi dengan belajar di dalam kelas. Nulis melulu. Bosan.

"Ayah tahu kalau Beni bosan. Tapi memang begitu, Ben. Belajar memang bosan awalnya. Lama-lama terbiasa kok.

"Ayolah. Kan gak susah. Beni duduk di kursi, perhatikan Bu Guru waktu jelaskan di depan kelas, dengarkan, terus kerjakan apa yang disuruh Bu Guru. Gak lama belajarnya. Kan Beni masih kelas satu.

"Lagian sisa tiga hari lagi untuk dapetin sepeda. Beni pasti bisa. Sayang, sisa tiga hari lagi," kata Ayah, sambil memperlihatkan foto sepeda roda tiga di buku gambarku.

Aku pun berpikir.

Iya juga. Cuma sisa tiga hari. Sisa sedikit lagi.

Aku pun masuk ke kelas.

Hari keempat lewat.

Hari kelima berlalu begitu saja.

Hari keenam, tak terasa.

Akhirnya, hari pamungkas, hari yang ketujuh pun tiba.

Aku masuk ke kelas dengan gembira dan waktu sekolah usai, aku sudah mau menagih janji Ayah. Ayah sudah menungguku di luar pagar sekolah.

"Ayo, kita langsung ke tokonya," Seakan Ayah bisa menebak jalan pikiranku.

Sepeda roda tiga warna biru tua dengan tulisan Oregon di rangka sudah menunggu, seakan tahu kalau pemiliknya akan datang.

Setelah Ayah membayar lunas, sepeda itu pun berpindah tangan.

Aku sangat gembira.

Aku langsung mengendarainya di rumah. Berkeliling di halaman rumah, mengayuh pedal. Asyiik.

"Nah, ternyata tidak susah kan?" kata Ayah, "Tujuh hari tak terasa. Tapi ingat ya, Ben."

"Apa, Yah?"

"Kalau kamu menangis lagi, ngambek lagi, nggak mau masuk kelas lagi, ayah ambil sepedanya."

"Gak nangis lagi, Yah. Janji."

Aku mengayuh sepeda roda tigaku dengan riang. 

Pengorbanan membuahkan hasil akhir yang menggembirakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun