Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Semilir Angin di Kapal Kala Itu

28 Juni 2019   20:11 Diperbarui: 28 Juni 2019   20:17 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepuluh tahun yang lalu. Kami bersama. Masih muda belia. Mabuk cinta membakar sukma

Kami berada dalam satu kapal. Dari kota A ke kota B. Satu hari dan dua malam. Waktu yang singkat, namun bermakna dalam.

Orang banyak salah sangka. Kami tak berbuat apa-apa. Hanya menikmati detik-detik terakhir. Akhir kebersamaan kami.

Tak ada hukum yang dilanggar. Tak ada norma kesusilaan yang kami lewati. Kami berada di dua kamar yang terpisah. Bersama keluarga masing-masing.

Dia akan menikah dengan pria pilihan orangtuanya. Aku hanya kebetulan pengin ke kota B. Tidak ada rencana untuk bertemu di kapal itu. 

Namun ternyata, tak sengaja kami bersua. Benih-benih cinta masih ada. Tapi aku memang tahu diri. Aku masih kurang pantas baginya. 

Bukan aku menyerah memperjuangkannya. Tapi dia pun ragu untuk mempertahankan cinta kami. Ibunya punya penyakit jantung. Ayahnya mengidap gagal ginjal. Dia hanya ingin membahagiakan orangtua sebelum mereka meninggal. 

Aku sadar diri. Aku masih mahasiswa ingusan. Tentu saja tak bisa dibandingkan dengan pengusaha yang sukses malang melintang di dunia properti. Apalagi si pengusaha sudah cukup berumur dan punya aset dimana-mana. Pasti kesejahteraan hidupnya dan keluarga akan terjamin. 

Di kota B, kami berpisah. Meskipun begitu, semilir angin di kapal kala itu tidak bisa aku lupakan. Merelakan kekasih untuk lelaki lain adalah pengalaman yang menyakitkan. Karena keinginannya untuk membahagiakan orangtua, aku pun mengalah. 

Sekarang, sepuluh tahun kemudian, tak sengaja kami bertemu kembali. Di kapal yang sama, dengan tujuan yang sama, namun dengan kondisi yang berbeda. 

Aku sudah beristri dengan dua anak, laki-laki dan perempuan. Dia sudah bercerai dengan suami. Suaminya berselingkuh. Ayah dan ibunya meninggal tak lama sesudah perceraiannya. Dia tak mendapatkan anak selama menikah. 

Kami berbicara di dek malam sebelum esok pagi kapal merapat di kota B. Semilir angin di kapal sekarang ini mengingatkanku akan kala itu. Sepuluh tahun yang lalu. 

Namun sekarang berbeda. Aku sudah menjadi orang berada. Dia sudah tak punya apa-apa. Tak ada yang merintangi cinta kami untuk bersama. 

Tapi, aku tersadar. Aku tidak mau mengkhianati istri dan mendukakan anak-anakku. Dia sudah cinta masa lalu. Istri dan anak-anakku adalah cinta sejatiku sekarang dan masa depan. 

"Kita berteman saja. Kau carilah laki-laki lain yang bersedia menjadi suamimu. Aku minta maaf. Aku sudah berkeluarga."

Aku pun melangkahkan kaki, menjauh, meninggalkannya di dek seorang diri.

Biarlah kenangan manis, semilir angin di kapal kala itu, menjadi sebatas kenangan. Mimpi menjadi sepasang suami istri bersamanya sekadar angan-angan yang tak kesampaian. 

Itu hanya kenangan masa lalu. Masa kini dan depan hanya untuk istri dan anak-anakku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun