Sepuluh tahun yang lalu. Kami bersama. Masih muda belia. Mabuk cinta membakar sukma
Kami berada dalam satu kapal. Dari kota A ke kota B. Satu hari dan dua malam. Waktu yang singkat, namun bermakna dalam.
Orang banyak salah sangka. Kami tak berbuat apa-apa. Hanya menikmati detik-detik terakhir. Akhir kebersamaan kami.
Tak ada hukum yang dilanggar. Tak ada norma kesusilaan yang kami lewati. Kami berada di dua kamar yang terpisah. Bersama keluarga masing-masing.
Dia akan menikah dengan pria pilihan orangtuanya. Aku hanya kebetulan pengin ke kota B. Tidak ada rencana untuk bertemu di kapal itu.Â
Namun ternyata, tak sengaja kami bersua. Benih-benih cinta masih ada. Tapi aku memang tahu diri. Aku masih kurang pantas baginya.Â
Bukan aku menyerah memperjuangkannya. Tapi dia pun ragu untuk mempertahankan cinta kami. Ibunya punya penyakit jantung. Ayahnya mengidap gagal ginjal. Dia hanya ingin membahagiakan orangtua sebelum mereka meninggal.Â
Aku sadar diri. Aku masih mahasiswa ingusan. Tentu saja tak bisa dibandingkan dengan pengusaha yang sukses malang melintang di dunia properti. Apalagi si pengusaha sudah cukup berumur dan punya aset dimana-mana. Pasti kesejahteraan hidupnya dan keluarga akan terjamin.Â
Di kota B, kami berpisah. Meskipun begitu, semilir angin di kapal kala itu tidak bisa aku lupakan. Merelakan kekasih untuk lelaki lain adalah pengalaman yang menyakitkan. Karena keinginannya untuk membahagiakan orangtua, aku pun mengalah.Â
Sekarang, sepuluh tahun kemudian, tak sengaja kami bertemu kembali. Di kapal yang sama, dengan tujuan yang sama, namun dengan kondisi yang berbeda.Â
Aku sudah beristri dengan dua anak, laki-laki dan perempuan. Dia sudah bercerai dengan suami. Suaminya berselingkuh. Ayah dan ibunya meninggal tak lama sesudah perceraiannya. Dia tak mendapatkan anak selama menikah.Â