Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ini 7 Kesusahan Kronis Kalau Guru Bisa Main Gitar

19 Juni 2019   09:28 Diperbarui: 19 Juni 2019   09:40 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Punya kebisaan memang ada plus minusnya. Di balik plus, pasti ada minus. 

Begitu juga dengan kebisaan bermain gitar. Selama bertahun-tahun bermain gitar untuk mengiringi dalam mengajar lagu bahasa Inggris pada peserta didik di esde, selain ada kesukaan, ada juga kesusahan yang saya hadapi. 

Nah, kali ini saya hanya ingin membahas 7 kesusahan kronis kalau guru bisa main gitar (dalam hal ini saya, salah satu guru yang bisa main gitar ^_^), dari pengalaman saya dalam mengajar bahasa Inggris di esde. 

Apa saja 7 kesusahan kronisnya? 

1. Waktu lihat gitar, tangan gatal, pengin megang, dan main gitar

Ini mungkin bisa bisa dibilang candu bagi orang-orang yang suka main gitar. 

Setiap hari harus ada waktu untuk main gitar. 

Tangan tak bisa diam kalau melihat gitar. Melihat gitar di rumah, pasti langsung ada rasa gatal di tangan, gatal untuk memegang gitar, dan kalau ada waktu lowong, memainkan gitar tersebut.


Itu kalau gitar saya. 

Bagaimana dengan gitar orang lain yang ada di hadapan?

Wah, tentu saja, saya tak akan melewatkan kesempatan untuk melihat si gitar lebih dekat, memegang body gitar, memetik senar gitar, lalu memainkan satu atau dua lagu sederhana.

Bisa dikatakan, gitar adalah candu bagi saya. Setiap hari, paling tidak ada 15 menit saya sediakan khusus untuk bermain gitar. Kalau tidak bermain gitar dalam sehari, rasanya ada yang kurang.

Mungkin pertanyaan Anda, "Bagaimana kalau seandainya bepergian ke luar kota? Apakah gitar juga dibawa serta?"

Jawaban saya adalah "Tidak". 

Memang gitar seperti narkoba bagi saya, namun kalau seandainya bepergian ke luar kota atau luar negeri, untuk apa membawa gitar. Merepotkan ^_^.

2. Digandrungi murid cewek

Nah, sebelumnya saya kurang mengerti, kenapa murid-murid cewek kebanyakan senang kalau saya mengajar di kelas dengan gitar ada di genggaman.

Saya pun penasaran dan mencari di Mbah Google dengan kata kunci apa kelebihan pria yang bisa main gitar dan akhirnya saya menemukan bahwa lawan jenis dalam hal ini perempuan lebih tertarik dengan laki-laki yang bisa main gitar (sumber : (1), (2), (3), (4)).

Tentu saja, ini menjadi keuntungan kalau ingin mencari jodoh, tapi di sisi lain, sebagai guru, menjadi kesusahan.

Kok bisa?

Karena kemana pun saya pergi, bisa dipastikan fans murid-murid cewek akan berkerumun untuk sekadar cium tangan, salim. Berpapasan di mana saja, entah di kantin, dekat toilet, di pintu gerbang sekolah, pos jaga, bahkan di perpustakaan sekolah.

Serasa kayak artis aja ^_^.

"Wiih, Pak Anton kayak selebriti. Banyak penggemar," kata Gunadi (nama samaran), salah seorang rekan guru di sekolah.

Nah, inilah susahnya. Kalau jaga jarak, salah; kalau terlalu dekat dengan murid, dianggap salah juga.

Namun, saya tidak terlalu memusingkan pendapat orang, komentar miring beberapa guru tentang kedekatan saya dengan murid-murid perempuan. Sejauh tidak menyalahi aturan dan proses belajar mengajar tetap berjalan lancar, bagi saya, tidak ada masalah.

3. Disangka guru kesenian

"Bapak guru kesenian ya?"

Pertanyaan ini sudah sering saya dengar dari berbagai orangtua atau wali murid di saat bertemu, baik di pos jaga maupun di perpustakaan.

Stigma "membawa gitar berarti guru kesenian" atau "membawa alat musik berarti guru kesenian" seperti melekat pada guru kesenian. Mungkin sama halnya kalau guru olahraga berarti memakai baju olahraga dengan peluit yang terpampang, tergantung di leher dan stopwatch yang selalu ada di tangan.

Kalau untuk guru olahraga, bisa dibilang itu sudah pasti, tapi bukan berarti membawa gitar, seperti yang saya lakukan, menandakan saya guru kesenian.

"Kalau bapak membawa kamus bahasa Inggris, baru cocok," kata Januar, guru olahraga di sekolah.

Itulah susahnya stigma yang sudah pakem di dunia, identik dengan apa yang dibawa.

4. Karena sudah terbiasa menyanyi dengan gitar, tanpa gitar terasa kurang gereget saat menyanyi

Nah, kalau sudah terbiasa menyanyi dengan iringan gitar, tentu saja, jadi terasa berbeda kalau tidak menggunakan gitar.

"Pak, nggak asyik kalau tidak ada gitar. Kenapa bapak tidak bawa gitar?"

Itu komentar dari para siswa jika saya tidak membawa gitar.

Kenapa saya tidak membawa gitar?

Ada dua alasan untuk itu.

Pertama, hari hujan

Mungkin Anda berpikir apa hubungannya hujan dengan tidak membawa gitar?

Sebenarnya sederhana saja.

Karena sekolah tidak mempunyai gitar, maka saya membawa gitar saya ke sekolah.

Otomatis, kalau hari hujan, saya tak mungkin membawa gitar saya, meskipun jarak antara rumah saya dan sekolah tidak jauh. Dengan sepeda motor, saya menempuh waktu hanya lima menit untuk tiba di sekolah, namun tentu saja, air hujan bisa masuk ke softcase gitar, dan dipastikan gitar akan basah.

Kalau basah, jelas bisa merusak gitar, baik dari segi fisik gitar, maupun kualitas suara gitar.

Kedua, malas

Tentu saja, terkadang malas membawa gitar. Pada suatu masa, inginnya bebas, tidak membawa gitar.

Otomatis, kalau tidak membawa gitar, biasanya saya mengganti dengan kegiatan permainan yang berhubungan dengan bahasa Inggris. Tujuannya, supaya tidak membosankan sewaktu belajar. Ada variasi. Tidak menyanyi terus.

5. Cukup lelah membawa gitar ke mana-mana

Mungkin Anda sudah melihat alasan di atas, kalau saya terkadang malas membawa gitar. Malas bisa disebabkan karena faktor lelah. Gitar, meskipun lebih ringan daripada keyboard, lumayan menguras tenaga waktu membawanya. Apalagi kalau mengajar banyak kelas, lebih dari lima kelas dalam seminggu, dalam hal ini, saya pernah mengajar sampai 19 kelas, dari kelas 1 sampai 6.

Kalau saya membawa gitar setiap hari, tentu saja membuat lelah.

Mudah-mudahan, kelak di berbagai Sekolah Dasar, ada beberapa alat musik, seperti keyboard, gitar, angklung, pianika, dan lain sebagainya. Saya memilih gitar, karena gitar sangatlah fleksibel, harganya terjangkau, dan cukup mudah dalam memainkannya, serta tidak membutuhkan listrik untuk membuat gitar "bersuara".

6. Banyak orang ingin menjodohkan dengan anggota keluarga, teman, atau tetangga mereka

Ini adalah bagian yang tersulit. 

Karena mereka tahu kalau saya masih jomblo, mereka ingin menjodohkan saya dengan anggota keluarga mereka, teman mereka, tetangga mereka, atau siapa saja yang mereka kenal yang masih mencari pasangan hidup.

Mereka itu siapa?

Mereka itu adalah para guru di sekolah, orangtua atau wali murid, penjual makanan di kantin, sampai para tetangga.

Yang awalnya tidak begitu akrab, tapi karena saya bisa bermain gitar, mereka meminta saya untuk memainkan beberapa lagu, saya mainkan gitar, dan sejak itu, hubungan pertemanan bisa dikatakan, sangat baik.

Saking baiknya sampai-sampai mereka berbaik hati, berusaha menjodohkan saya dengan kenalan mereka ^_^.

Saya sih senang saja, tapi yang bikin kelimpungan adalah banyaknya nomor kontak yang saya dapat, membuat saya bingung, yang mana yang harus saya hubungi terlebih dahulu ^_^.

7. Susahnya, setelah saya resign dari sekolah; para rekan guru, murid-murid, dan orangtua murid selalu menyesalkan, mempertanyakan berulang kali kenapa saya keluar

Saya selalu mendapat pertanyaan klasik, "Kenapa bapak keluar?"

Pertanyaan seperti ini saya dapatkan dari para rekan guru, murid-murid, dan orangtua-orangtua murid yang memang sangat menyayangkan kenapa saya mengundurkan diri.

"Padahal anak-anak sudah cocok dengan bapak. Mereka senang kalau bapak yang mengajar," kata Bu Lia (nama samaran), salah satu orangtua murid, waktu bertemu di jalan tanpa sengaja.

Bagi saya, ini merupakan apresiasi yang sangat mengharukan.

Dan terlebih lagi, murid-murid saya yang mengatakan betapa mereka sangat kehilangan.

"Nggak seru sama Miss Windi (bukan nama sebenarnya). Lebih asyik sama bapak," kata Lani (bukan nama sebenarnya), siswi kelas tiga, menatap dengan matanya yang bulat lucu.

"Kangen sama gitar bapak," kata Bianca (nama samaran), murid kelas satu, dengan suara yang ngangenin dan badan yang gemuk.

"Coba bapak tetap aja di sini. Bosan sama Miss Windi," Dodi (bukan nama sebenarnya), siswa kelas enam, menyesalkan kepergian saya.

Senangnya merasa dikangenin banyak orang, susahnya mereka selalu menyesalkan, mempertanyakan berulang kali kenapa saya keluar, dan untuk guru baru, tentu saja jadi sukar kondisinya, apalagi guru yang baru menyandang gelar sarjana dan tak punya pengalaman mengajar sebelumnya.

Para murid dan guru pasti selalu membandingkan antara guru baru dengan guru yang mengajar sebelumnya. 

Untungnya, saya tak pernah mengalami hal semacam itu, karena guru-guru bahasa Inggris sebelum saya, di sekolah-sekolah dimana saya pernah mengajar, tak pernah ada satu guru bahasa Inggris pun yang seperti saya. Membawa gitar, mengajar menyanyikan lagu dalam bahasa Inggris, melibatkan peserta didik secara aktif dalam mempraktekkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris, mengajarkan permainan-permainan yang mengasah kreativitas peserta didik, dan lain sebagainya.

Di balik kesusahan, ada kesukaan di dalamnya

"Ah, yang di atas sih bukan kesusahan, tapi kesukaan."

Ya, sebenarnya ada kesukaan di balik kesusahan.

Kesukaan dimana mengajar menjadi menyenangkan jika bisa gitaran.

Kesukaan jika murid-murid menyenangi gurunya akan berimbas pada menyenangi pelajarannya.

Kesukaan waktu banyak orang menganggap saya bisa melakukan hal yang sama baiknya di bidang lain.

Kesukaan apabila ada kerinduan dari para peserta didik akan alat yang saya gunakan.

Kesukaan ketika jerih payah saya dihargai.

Kesukaan waktu banyak orang peduli dengan kehidupan saya.

Kesukaan ketika banyak orang merindukan kehadiran saya.

Melihat bahwa di balik kesusahan, ada kesukaan; bukannya mengeluh, apalagi menggerutu kalau mendapat hasil (dibaca : honor) yang tak naik-naik atau naik tapi tak seberapa.

Mengambil hikmah dari kesusahan adalah langkah maju, karena dengan begitu, seperti halnya di atas, banyak orang menganggap, saya sudah banyak memberikan sumbangsih untuk kemajuan sekolah dan keberhasilan peserta didik.

Itu lebih bermakna dibanding materi.

Kiranya 7 kesusahan ini bisa memberikan manfaat bagi Anda semua, bahwa di balik kesusahan, selalu ada kesukaan di dalamnya.

Bagaimana dengan Anda, para kompasianer yang berprofesi sebagai guru?

Apa kesusahan kronis Anda?

Ayo berbagi di Kompasiana.

Supaya memperkaya rekan guru yang lain untuk tetap berkarya, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kita tunggu bersama ^_^.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun