Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dosen, "Sang Mahaguru" yang Lebih dari Digugu dan Ditiru

17 Juni 2019   08:53 Diperbarui: 18 Juni 2019   02:48 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: coffingdw.com

"Sialan." Kata itu keluar dari Hendi, sewaktu membuka pintu kamar.  

"Kenapa, Hen?" Chandra heran. Tak biasanya adiknya yang kalem ini mengumpat seperti itu.  

"Ini, Mas. Aku punya dosen antik."

"Antik?"

"Iya. Antik, karena ucapan-ucapannya tidak mendidik."

"Ucapan yang seperti apa?"

"Masa kami, para mahasiswa, dibilang "stupid"."

"Sabar dulu. Mungkin cuma bercanda," Chandra berusaha menenangkan.

"Bercanda? Dia serius, Mas. Kami dibilang 'stupid', 'bungul', 'gitu aja gak bisa',  dan seabrek perkataan merendahkan lainnya."

"Sama semua mahasiswa, si dosen bicara seperti itu?"

"Ke mahasiswa laki-laki aja dia ngomong seperti itu. Ke mahasiswi, dia sih jinak-jinak merpati. Biar mahasiswinya bego, dia gak ada marahin."

Ini Fiksi atau Kisah Nyata?

Mungkin Anda berpikir, cerita di atas pasti cuma rekaan.

Memang, itu cuma rekaan, namun dosen yang mengucapkan "stupid" itu bukan rekaan, tapi kenyataan.

Saya menulis artikel ini bukan bermaksud mencemarkan nama baik siapa pun, meskipun dosen ini benar-benar ada, dan saya pun tidak ada kepentingan dan rasa sakit hati pada beliau.

Saya menulis artikel ini dengan maksud supaya ada pembelajaran yang baik, terutama dari pihak para dosen, agar bertingkah laku dan bertutur kata yang baik dan sopan pada siapa pun, meskipun orang-orang tersebut (dibaca : mahasiswa) sekarang dalam kondisi "bukan siapa-siapa" alias nobody; namun mungkin suatu hari kelak menjadi "seseorang" atau somebody yang sukses dan tajir.

Tentu saja, perkecualian saya tujukan pada Ibu Lusy Mariana Pasaribu dan Bapak Johanis Malingkas, rekan kompasianer yang berprofesi sebagai dosen.

Saya percaya, yakin 1000 persen, kalau Bu Lusy dan Pak Johanis adalah dosen-dosen yang berperilaku baik dan sopan. Kenapa saya berpendapat begitu? Karena beliau-beliau ini tidak sombong, suka memberi vote pada artikel-artikel receh dan puisi-puisi picisan saya, dan juga terkadang memberi komentar yang menyejukkan di bawah artikel-artikel saya ^_^.

Beliau-beliau ini juga suka berbagi ilmu lewat tulisan.

Bagaimana sih ceritanya?

Jadi begini ceritanya.

Sebut saja nama dosen itu Gunawan. Kalau melihat nama, seharusnya memberikan "kegunaan", manfaat untuk orang lain. Namun sayangnya, bukan "guna" yang didapat, malah "bencana".

Kata-kata "stupid", bungul, bodoh, dan kata-kata merendahkan lainnya keluar dari mulut sang dosen, yang seharusnya dipanggil "mahaguru". Mahaguru? Kalau dari SD sampai SMA, berpredikat siswa atau siswi. Waktu di Perguruan Tinggi, disebut mahasiswa dan mahasiswi. Siswa yang maha. Siswi yang maha.

Nah, sama dengan sebutan guru dari SD sampai SMA; seharusnya waktu di Perguruan Tinggi, disebut mahaguru, bukan dosen.

Entah siapa yang mengusulkan sebutan dosen, alih-alih mahaguru (Kalau di Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring, mahaguru hanya untuk guru besar; profesor (pada perguruan tinggi)).

Oke deh. Kok malah melantur ^_^.
Kembali ke laptop.

Kebetulan, saya pernah melihat Pak Gunawan ini waktu mengajar di dalam kelas. Tipikal dosen yang membosankan. Memakai metode ceramah, cuma duduk di kursi waktu menjelaskan, tanpa alat peraga, bahkan, parahnya, sambil merokok! Kalau ada mahasiswa yang bertanya, dia kelihatan tidak suka (tidak berlaku, kalau mahasiswi yang bertanya).

Dia seakan melecehkan kemampuan mahasiswa yang bertanya. Sebagai balasan, di pertemuan berikut, Pak Gunawan ini akan bertanya pada si mahasiswa penanya tadi. Apabila tidak bisa menjawab, maka bisa dipastikan, kata "stupid" keluar dari mulutnya.

Mengapa Dosen Gunawan berperilaku menyebalkan?

Kalau berkaca dari pengamatan secara langsung, maupun dari beberapa mahasiswa yang terpaksa harus mengambil mata kuliah Dosen Gunawan, seperti Hendi, saya menganalisa, sedikitnya ada 3 (tiga) sebab kenapa Dosen Gunawan berperilaku menyebalkan.

1. Tidak puas dengan gaji dosen yang diterima

Kalau ini adalah fakta. Dari pengamatan langsung dan kesaksian dari beberapa mahasiswa-mahasiswi, Dosen G ini tidak puas dengan gaji dosen yang dia terima. Parahnya, dia membandingkan gajinya dengan gaji istri yang bekerja di bank.

Jelas, perbandingan ini tidak apple to apple. Seandainya dia membandingkan dengan gaji dosen di universitas lain, itu bisa diterima. Dosen dan karyawan bank kan berbeda tugas, pokok, dan fungsi atau tupoksi-nya.

Lebih diperparah lagi, dosen G ini malah mempromosikan jualannya yaitu aplikasi ponsel yang bau-baunya seperti beternak atau menggandakan uang. Dia menawarkan ke mahasiswa-mahasiswi di saat jam mengajar di dalam kelas!

2. Arogan, memandang rendah keilmuan mahasiswa, terutama yang laki-laki

Ini terlihat sekali dari cara dosen G dalam bertutur kata dan berperilaku.

Kalau dengan mahasiswi, tutur kata dan perilakunya halus, lembut; tapi kalau terhadap mahasiswa, tutur kata berubah garang, tatapan nyalang, raut wajah sangar, perilaku kasar. Ujung-ujungnya, mengucapkan "stupid", "bungul" (kata dalam bahasa banjar, artinya bodoh), dan mempersulit mahasiswa-mahasiswa bimbingan waktu konsultasi skripsi.

"Gitu aja nggak bisa," itu juga sering dikatakan Dosen G.

3. Mungkin dia mencontoh dosen idolanya dulu

Nah, kalau ini, hanya asumsi, karena saya juga tidak tahu persis apakah Dosen G ini memang punya dosen idola yang sangar dulunya atau tidak. Tapi saya berasumsi seperti itu, karena saya menyadari, saya sebagaimana ada saat ini, karena ilmu yang saya dapatkan dari para dosen saya.

Namun saya mengambil hal-hal positif dari para dosen. Tentu saja, ada hal-hal negatif dari para dosen, karena mereka juga manusia, sama seperti kita. Bisa juga berbuat salah.

Saran buat Dosen Gunawan dan dosen-dosen lain yang bertingkah laku menyebalkan

Seperti sudah saya beritahukan sebelumnya, saya yakin rekan-rekan kompasianer yang berprofesi sebagai dosen, baik itu Bu Lusy Mariana Pasaribu yang terkenal dengan Kumpulan Puisi Cintanya yang cetar membahana (Ehem ^_^); Pak Johanis Malingkas yang sangat produktif dalam menulis, sehingga bisa menghasilkan 70 artikel di Kompasiana dalam bulan Mei 2019 barusan (salut untuk Pak Jo. Saya saja, untuk menghasilkan 30 artikel dalam sebulan, sudah ngos-ngosan ^_^), dan rekan-rekan kompasianer lain yang saya tidak bisa sebutkan satu per satu atau saya belum kenal, saya yakin bapak-bapak dan ibu-ibu semua adalah dosen-dosen yang baik, sopan, berdedikasi tinggi, dan tidak sombong ^_^.

Untuk Bu Lusy, Pak Jo, dan para rekan kompasianer yang berprofesi sebagai dosen, saran-saran yang akan saya utarakan berikut bisa Anda lewatkan. Tidak perlu Anda baca ^_^. 

Saran-saran berikut hanya khusus saya berikan kepada Dosen G dan dosen-dosen lain yang bertingkah laku menyebalkan.

1. Bersyukur atas gaji yang didapat

Yah, yang namanya gaji, tak akan pernah dirasa cukup kalau gaya hidup selalu wah. Ibaratnya ada istilah BPJS. Ini bukan kependekan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, tetapi Budget Pas-Pasan, Jiwa Sosialita. Atau istilah lainnya "Besar pasak daripada tiang", Besar pengeluaran daripada pemasukan.

Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah .... Begitulah sedikit lirik lagu "Jangan Menyerah" dari Grup Band D'Masiv. Alih-alih mengeluh gaji kurang dan mahasiswa-mahasiswi jadi korban, sertifikasi belum dapat, dan masalah-masalah lainnya, kenapa tidak sambil berbisnis?

Buka usaha warung sembako, rumah makan, tempat fotokopi, toko buku bekas, atau yang lainnya. Namun yang mesti harus diingat adalah jangan menjadikan mahasiswa sebagai obyek bisnis. Misalnya, menjual buku ke mahasiswa dengan alasan isi buku adalah materi kuliah. Kalau seandainya beli di toko buku, saya rasa tidak masalah. Berbeda kalau membeli ke dosen lewat ketua tingkat.

Nama tidak ada di daftar pembeli, alamat mendapat nilai maksimal "C". Ada beberapa dosen yang seperti itu. Meskipun berkata, "Tidak wajib untuk membeli buku ini," namun kenyataan berkata lain.

Tapi, biar bagaimanapun, saya lebih menghargai dosen yang jual buku karya tulis sendiri daripada dosen yang jual aplikasi money game untuk ponsel yang tidak ada hubungannya dengan mata kuliah seperti yang dilakukan Dosen G.

2. Jangan pandang rendah status mahasiswa. Siapa tahu kelak kalian butuh bantuan mereka

Ini yang saya herankan. Dosen dulunya juga mahasiswa, tapi setelah jadi dosen, kok malah menindas mahasiswa. Tidak semua dosen seperti itu. Hanya beberapa saja.

Saya dulu pernah menjadi asisten dosen (asdos). Saya tidak mau menyusahkan adik-adik tingkat, apalagi yang kuliah sambil bekerja, atau sebaliknya, kerja sambil kuliah, karena saya pernah mengalami capeknya kerja sambil kuliah.

Pernah suatu kali, mantan dosen saya dari universitas lain tempat saya menimba ilmu sebelumnya, tiba-tiba ada di universitas dimana saya menjabat sebagai asdos.

"Ton, ada lowongan jadi dosen di sini?" tanyanya.

"Bapak tanya saja langsung ke bagian administrasi atau yang terkait. Saya kurang tahu soal itu, Pak," saya menjawab dengan sopan.

Saya ingat sekali dengan dosen ini, Pak Handoko (bukan nama sebenarnya), yang dulu sempat menghina aksen teman saya, Doni (nama samaran) dan meremehkan kemampuan saya dalam mengajar di waktu lampau. Sekarang, dia malah berbaik-baik dengan saya karena tahu kalau saya asdos.

Tidak ada yang tahu masa depan mahasiswa-mahasiswi itu, kecuali Tuhan. Sekarang mungkin mereka orang susah, tapi lima atau sepuluh tahun yang akan datang, siapa tahu mereka jadi pengusaha sukses, dosen, guru, pejabat, dan lain-lain. Jadi jangan remehkan mereka. Siapa tahu, kelak Anda semua butuh bantuan mereka.

3. Jangan samakan pendidikan di masa lalu dengan masa sekarang

"Ah, kalian ini lembek. Begini aja nggak bisa. Saya bilang "stupid", langsung tersinggung," kata Dosen G dengan pongah, "Dulu, dosen-dosen saya bilang begitu, kami tak marah."

Tentu saja, paradigma menyamakan kondisi "dulu" dengan "sekarang" tidaklah pada tempatnya. Gaya hidup, teknologi, kondisi ekonomi, ilmu pengetahuan, sudah tak sama dengan 10, 20, atau 30 tahun yang lalu.

Apalagi mengatakan "stupid". Dosen G berada di bawah naungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Dengan mengatakan "bodoh" ke mahasiswa-mahasiswi, niscaya akan ada beberapa mahasiswa yang berperilaku sama di masa depan kalau mereka berprofesi sebagai guru atau dosen.

Pertanyaannya : Apakah mau punya guru atau dosen yang suka menganggap rendah peserta didik atau mahasiswa? Kan lebih baik memotivasi, memberikan narasi yang menyejukkan, daripada mencela!

Apapun yang dipunyai, kalau sudah tiada, tak ada artinya

Apapun yang kita punyai saat ini, tidak akan kita bawa saat kita mati. Harta, tahta, semuanya akan kita tinggalkan. Hanya ilmu yang bermanfaat akan menjadi warisan yang berharga bagi peserta didik dan mahasiswa. Dosen, lebih dari guru, lebih dari digugu dan ditiru.

Digugu, artinya segala sesuatu yang disampaikan oleh sang dosen senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua mahasiswa-mahasiswinya. Ditiru, artinya seorang dosen harus menjadi contoh teladan atau panutan bagi semua mahasiswa-mahasiswinya. Pertanyaan terakhir bagi Anda, para dosen : "Sebagai apakah Anda ingin dikenang?"

"Berikan contoh teladan dalam bertindak dan bertutur kata."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun