Ketiga mata pelajaran ini selalu menjadi tolak ukur berhasil atau tidaknya pendidikan di SD melalui Ujian Nasional SD.
Seakan-akan mata pelajaran lain yang tidak diujikan tidak penting. Anggapan umum, seandainya murid A jelek dalam mapel Matematika, berarti dia dianggap bodoh. Tidak seperti itu seharusnya. Siapa tahu, murid A hebat dalam bidang lain, misalnya menggambar.
Mudah-mudahan pemerintah lebih mementingkan keberagaman bakat anak, bukan ingin menyeragamkan anak.
Mendadak Jadi Pelatih Tari
Sbenarnya tak direncanakan, waktu saya menjadi pelatih tari,.
Di awal, saya hanya melatih paduan suara. Untuk tarian, para siswi (kebetulan penari-penarinya perempuan semua) berlatih, yang katanya sambil dibimbing oleh guru kelas masing-masing.
Bu Dania, ketua panitia, meminta tolong saya, untuk mengumpulkan para murid, setelah sebulan saya melatih paduan suara. Waktu itu tersisa tiga bulan lagi, sebelum hari-H.
"Sekalian ikut hadir juga yang ngisi tarian ya, Pak. Kita lihat sekalian, sejauh mana perkembangan mereka dalam menari."
"Baik, Bu."
Saya mengiyakan, dan dalam hati, sebenarnya, saya meragukan hasil latihan nari para siswi kelas enam. Kenapa? Karena, kenyataan yang saya lihat, mereka dilepas begitu saja. Belajar menari di kelas sendiri. Tidak diawasi langsung, tidak dibimbing langsung oleh guru-guru kelas mereka.
Kalau seandainya mereka murid SMP atau SMA, tentu saja bisa belajar sendiri. Mereka sudah sadar akan tanggung jawab. Kalau SD? Tentu saja, masih banyak bermain daripada serius berlatih.
Kelas 6C akan menyumbangkan tari Dayak dari Kalimantan, dan kelas 6A akan menampilkan tari Dindin Badindin dari Sumatera Barat.