Samarinda (terkena) banjir lagi.
Sudah jamak kalau"Sudah langganan."
Begitu komentar kebanyakan warga Samarinda, yang seakan pasrah dengan kondisi banjir.
Sampai-sampai ada yang bercanda (sebenarnya sudah dari dulu), kalau mau menikmati wahana banjir, Water Park, atau apa pun istilahnya, Samarinda-lah jagoannya.
Kenapa?
Karena banjir bagaikan penyakit tahunan, "kambuhan" di musim hujan, dan tak pernah kunjung sembuh.
"Makanya, kita kada milih inya jadi Gubernur Kaltim. Ngurus Samarinda aja kada kawa. Eh, pina harat bujur, handak ngurus propinsi. Kada supan kah?" (Terjemahan bebas : Makanya, kita tidak memilih dia jadi Gubernur Kaltim (di Pilgub Kaltim 2018). Mengurus Samarinda saja tidak bisa. Seperti hebat benar, mau ngurus provinsi. Tidak malu kah?) Â Â
Begitu kata Ujang, sebut saja begitu, salah seorang kawal (dibaca : teman) yang sudah dari lahir sampai dewasa wayah ini (dibaca : saat ini) menetap di Samarinda, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur.
Banjir yang (lagi-lagi) melanda
Curah hujan yang sangat tinggi, tentu saja menyebabkan ketakutan warga, terutama warga yang tinggal di daerah yang rawan banjir.
Namun, "kualitas" banjir yang ada saat ini melebihi kualitas banjir langganan.
Menurut berita dari Tribun Kaltim dan Kompas, daerah yang mengalami banjir terparah adalah yang berada di kawasan Kecamatan Samarinda Utara, yaitu di kawasan Perumahan Bengkuring, Griya Mukti dan Gunung Lingai. Ketinggian banjir bervariasi, mulai dari 25 cm sampai 75 cm.
Kecamatan Samarinda Ulu, Ilir, dan Sungai Pinang juga mengalami banjir, namun hanya menjadi area pelintasan air banjir saja, sehingga diprediksi akan cepat surut di tiga kecamatan ini.
Menurut data yang diberikan oleh Sekretaris Pemkot Samarinda, Sugeng Chairuddin, sebanyak 10.300 warga yang terdampak dan terbagi dalam beberapa kawasan.Â
Di Bengkuring terdiri dari 15 RT, 700 Kepala Keluarga yang totalnya 2,300 jiwa.
Perum Griya Mukti, 12 RT, dan 6 ribu jiwa.
Di Gunung Lingai, 2 ribu jiwa.Â
(data Kompas di hari Minggu, 9 Juni 2019, pukul 21.30 WITA)
Mengapa banjir terjadi (lagi)?
Masih menurut Sugeng Chairuddin, banjir pada hari Minggu, 9 Juni 2019 kemarin (dan juga masih belum surut sampai saat ini), dikarenakan ada tiga sebab.
1. Level Sungai Mahakam yang naik karena Hulu Mahakam hujan.
Debit air yang melimpah, karena hujan lebat terjadi di hulu sungai Mahakam, sehingga air mengalir begitu derasnya dari hulu ke hilir, sehingga ketinggian air di hilir sungai Mahakam terus meningkat.
Saya sendiri melihat ketinggian air terus naik, dari dua minggu yang lalu, meskipun di Samarinda, hujan tidak setiap hari melanda. Saya rutin melewati Jembatan Baru di Jalan Agus Salim, dan saya melihat peningkatan tinggi air terus terjadi.
2. Pasang air laut
Tentu saja pasang surut air laut sangat mempengaruhi ketinggian air di sungai.
3. Curah hujan yang tinggi
Data Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, di Pos Pantau Curah Hujan, mendukung pernyataan ini. Curah hujan di daerah Temindung mencapai 55 mm; APT Pranoto, 75 mm; Sei Siring, 75 mm; Tanah merah, 140 mm; dan Lempake, 73 mm.Â
Apalagi di hari Minggu, 9 Juni 2019, hujan turun dengan intens, sejak dini hari mulai pukul 02.40 WITA hingga pukul 09.00 WITA, sehingga menyebabkan banjir melanda.
Bagaimana cara supaya banjir tidak terjadi (lagi)?
Tentu saja, ini bukan semudah membalikkan telapak tangan. Masalah banjir ini butuh proses untuk menanggulanginya. Lebih baik mencegah penyakit "banjir" daripada mengobatinya.
Mudah-mudahan pemerintah kota Samarinda segera mengambil tindakan nyata, sebelum terjadi lagi banjir yang lebih parah di kemudian nanti. Jangan cuma sekadar narasi "Nanti kami tindaklanjuti", karena masyarakat Samarinda butuh kerja nyata, bukan retorika.
Dari berbagai sumber dan fakta di lapangan, saya rasa, empat cara ini, dari sekian banyak cara, bisa Pemkot Samarinda lakukan untuk di awal.
1. Normalisasi fungsi Sungai Karang Mumus (SKM) dan Sungai Mahakam
Sedimentasi sangat menumpuk di dasar Sungai, baik karena sampah-sampah plastik yang dibuang warga, maupun dari benda-benda dan unsur-unsur lain.Â
Perlu adanya pengerukan Sungai Karang Mumus (SKM) dan juga Sungai Mahakam, sehingga kembali ke fungsinya semula, sebagai sumber air minum bagi warga Samarinda;Â
tempat menampung limpahan air banjir (dengan bantuan mesin pompa untuk menyedot air banjir dan melimpahkannya ke sungai); dan juga, bisa dimanfaatkan sebagai tempat wisata, sehingga bisa memberikan pendapatan bagi daerah.
2. Buat larangan perambahan tepian sungai menjadi permukiman
Masih adanya warga yang merambah tepian sungai menjadi permukiman menyebabkan anak sungai yang terdegradasi. Belum adanya ketegasan dari Pemkot Samarinda terkait "bandelnya" warga yang merambah membuat tepian sungai semakin menurun.
Dengan adanya larangan yang dilandasi dengan payung hukum yang jelas, maka tepian sungai bisa dinormalisasi dan setelah itu kondisinya dipertahankan tetap baik.
3. Kaji ulang izin usaha pertambangan
Di kala banjir melanda, tambang batubara selalu dituding menjadi biang keladi musibah ini. Padahal tidak semua tambang batubara menyebabkan rusaknya lingkungan dan banjir.
Dalam hal ini, untuk mencegah "kecolongan" lolosnya pengusaha pertambangan yang nakal, maka dari itu, Pemerintah Daerah perlu mengkaji dengan saksama setiap izin usaha pertambangan (IUP) baru, dan juga mengkaji ulang perpanjangan IUP lama, terutama mengenai apa dampak yang akan diterima oleh daerah sekitar terkait aktivitas pertambangan.Â
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) harus dilakukan dengan teliti, adil, jujur, dan transparan, tidak menguntungkan sisi pengusaha saja, sedangkan dari warga sekitar dan kota Samarinda, dirugikan oleh keberadaan tambang tersebut.
4. Himbauan kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan sungai itu sendiri
"Ini salah warga pendatang." Tudingan ini biasanya berasal dari warga asli Samarinda.
Saya menyarankan untuk berhenti menyalahkan siapa pun. Tidak akan menyelesaikan masalah dengan saling menyalahkan. Terlepas siapa yang benar dan salah, kita semua harus bahu membahu, menjaga kebersihan sungai kita.Â
Sebenarnya, bukan hanya sungai, namun, secara pribadi, saya menghimbau kepada saudara-saudariku, warga Samarinda, untuk membuang sampah pada tempatnya, yaitu di tempat sampah; bukan di parit, got, jalan raya, sungai, dan lain sebagainya.
Melihat parit penuh dengan botol plastik, sampah kantung plastik, mainan anak, boneka, bahkan sampai ban dalam sepeda motor, membuat hati sedih! Kalau bukan kita yang menjaga kebersihan lingkungan kita, lalu siapa lagi? Jangan sampai, banjir terjadi karena kebiasaan buruk kita dalam membuang sampah sembarangan.
Harus ada budaya malu membuang sampah sembarangan. Sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita membuang sampah di tempat yang disediakan, bukan membuangnya sembarangan.
Saran saya pada Pemkot Samarinda, untuk memberikan kesadaran dan semangat menjaga kebersihan sungai dan sekitarnya. Berikan penghargaan bagi siapa saja yang menjaga kebersihan sungai; dan sanksi keras bagi yang membuang sampah di sungai dan di sembarang tempat.
Doa untuk Samarinda dan Tindakan Nyata
Kita berdoa, doakan supaya banjir cepat surut, dan para warga yang terkena dampak, bisa membersihkan rumah mereka dan bisa bekerja kembali. Begitu juga dengan masyarakat Samarinda yang terkendala dengan hadangan banjir, sehingga tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, semoga kita semua bisa bekerja kembali secepatnya, dan juga tanpa ada rasa takut adanya banjir yang mengintai keselamatan di perjalanan.
Tindakan nyata juga bisa kita lakukan, sebagai warga yang peduli pada warga lain yang terkena musibah banjir, dengan membuat dapur umum, memberikan makanan siap makan kepada para korban banjir, atau dalam bentuk dana.
Kita doakan juga, supaya Pemkot Samarinda cepat mengambil tindakan nyata untuk mengatasi masalah banjir ini. Apalagi dengan kondisi cuaca yang diprediksi masih akan turun hujan dalam beberapa waktu ke depan.
Kiranya Pemkot Samarinda melakukan langkah-langkah yang tepat, guna memberikan rasa aman bagi warga, supaya semboyan Samarinda sebagai Kota Tepian, yaitu singkatan dari Teduh, Rapi, Aman, dan Nyaman, bukan jadi semboyan kosong, semboyan yang jauh dari kenyataan.Â
Meme Samarinda sebagai Jungle Park di mata Netizen di media sosial kemarin tidak akan terjadi, seandainya banjir tidak muncul terus-menerus. Kami, warga Samarinda, menunggu kerja nyata dari Pemkot Samarinda dan jajarannya.
"Air bukan untuk dilawan, tapi Air harus dibuatkan jalan keluar."
Rujukan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H