Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Soal Cerita dalam Ulangan Matematika, Momok Bagi Anak Usia Dini

7 Juni 2019   23:03 Diperbarui: 8 Juni 2019   09:06 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkap Layar dari referensisiswa.blogspot.com

Rapor sebentar lagi akan diterima oleh siswa-siswi yang masih bersekolah. Bagaimana dengan hasilnya? Bagi yang telah belajar dengan rajin dan giat, pasti ada kepercayaan diri, bahwa mereka akan mendapat nilai-nilai gemilang di rapor.

Namun, bagi yang malas, yang tidak belajar dengan sungguh-sungguh, bisa dipastikan, nilai-nilainya juga semenjana atau malah di bawah standar, di bawah rata-rata.

Sebagai guru, baik yang dulunya mengajar di sekolah, maupun mengajar les privat, selama bertahun-tahun, saya memperhatikan berbagai fenomena yang dialami peserta didik, baik itu kemudahan, maupun kesukaran dalam belajar.

Sesuai dengan judul, saya akan membahas kesukaran dalam belajar Matematika. "Lho, bisa ngajar Matematika juga?" Ada beberapa orang yang dulu menanyakan hal itu. 

Awalnya, saya ingin fokus mengajar bahasa Inggris, karena itu saya membuat blog pintar-bahasa-inggris.com, khusus membahas tentang belajar bahasa Inggris dan juga sebagai sarana promosi les privat bahasa Inggris saya. 

Namun, karena ada beberapa calon orangtua murid menanyakan tentang bisa atau tidaknya saya mengajar Matematika, saya pikir, "Kenapa tidak?"

Lagipula, matematika yang akan diajarkan adalah matematika untuk tingkat Sekolah Dasar, dari kelas satu sampai enam. Dengan latar belakang SMA, jurusan IPA, yang mana waktu saya masih siswa SMA dulu, mendapat mata pelajaran Matematika sebanyak empat kali pertemuan dalam seminggu, dari hari Senin sampai Kamis.

Dengan satu kali pertemuan sebanyak dua jam pelajaran (45 menit per satu jam pelajaran), berarti 90 menit per satu kali pertemuan. Karena ada empat kali pertemuan dalam seminggu, maka total waktu yang saya peroleh dalam mempelajari mapel Matematika di sekolah adalah 90 menit dikali empat pertemuan, diperoleh 360 menit dalam seminggu.

Cukup membuat pening kepala ^_^

Namun, saya lumayan menyenangi mapel Matematika, dibanding Fisika atau Kimia. Meskipun waktu melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi, saya mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, bukan berarti saya melupakan ilmu matematika. Paling tidak, untuk jenjang esde, saya masih bisa memberikan penjelasan ^_^.

Namun, saya hanya bersedia mengajar matematika untuk jenjang esde. Untuk SMP dan SMA, saya angkat tangan, karena melihat materi pelajaran matematika untuk SMP dan SMA, sangat jauh berkembang. Lebih sukar sekarang dibanding waktu saya bersekolah di SMP dan SMA dulu. 

Saya perlu menyediakan waktu untuk refresh, menyegarkan ingatan saya kembali. Untuk jenjang SD saja, sudah sukar. "Soal Matematika SD sekarang ini, seharusnya untuk murid SMP."

Pendapat ini diutarakan oleh salah seorang teman saya, sebut saja Bu Rubby, salah seorang guru esde di Samarinda, beliau mengajar di kelas enam. Dia menjabat sebagai guru kelas.

Saya memang melihat ada kebenaran dalam opini teman saya itu, karena materi yang didapat oleh murid kelas enam sekarang, dulu saya dapatkan waktu di SMP.

Berarti, kurikulum 2013 menganggap murid-murid SD sekarang mengalami peningkatan daya nalar, sehingga mengira anak usia dini bisa menguasai materi matematika yang dulunya diberikan untuk murid SMP.

Saya tidak ingin memperdebatkan soal kurikulum, karena saya tidak tahu menahu, mengapa sekarang kurikulum mewajibkan peserta didik di tingkat Sekolah Dasar untuk mempelajari materi yang dulunya untuk Sekolah Menengah Pertama. 

Biarlah kompasianer yang memang pakar di bidang kurikulum 2013 di mapel Matematika SD yang akan membahasnya kemudian. Yang menjadi sorotan bagi saya saat ini, selaku guru les privat yang mengajar Matematika ke murid les saya adalah kesukaran anak didik saya yang masih berusia dini untuk mengerjakan soal cerita dalam matematika.

Sebenarnya, saya pun mengalami kesukaran dalam mengerjakan soal cerita dalam pelajaran matematika waktu saya masih duduk di jenjang sekolah dasar. Namun, seiring waktu berjalan dulu, saya bisa memahami. Namun, sekarang masa sudah berbeda.

Terlepas dari opini "Materi seharusnya untuk jenjang SMP", mau tidak mau, saya harus mengajar anak didik saya untuk memahami soal cerita dalam matematika.

Setelah melalui sekian observasi (dalam hal ini, saya mengambil satu contoh nyata dari banyak contoh, yaitu, sebut saja, Jennifer, salah seorang murid les privat yang berada di kelas tiga esde), dan melihat hasil ulangan, akhirnya saya mengevaluasi apa yang sudah saya lakukan.

Baik itu membuat soal cerita untuk persiapan ulangan matematika murid, meminta murid mengerjakan soal cerita, melihat hasil perhitungan murid, dan membandingkan dengan ulangan murid, saya menyimpulkan ada 4 (empat) sebab kenapa soal cerita dalam ulangan matematika menjadi momok bagi anak usia dini.

1. Tidak teliti dalam membaca soal

Ketidaksukaan anak-anak dalam membaca buku atau media cetak lainnya menyebabkan mereka tidak teliti waktu membaca soal cerita. Memang ada anak-anak yang suka membaca, namun bisa dibilang sangat sedikit sekali persentasenya. Karena tidak suka membaca, maka ketidaktelitian pun melanda. Hanya membaca sekilas saja.

Jennifer, murid les saya, berada di kelas tiga esde. Kebetulan, untuk ujian semester dua ini, salah satu materi pelajaran adalah tentang bangun ruang, menghitung keliling dan luas, baik itu untuk persegi, maupun persegi panjang. Saya sudah menjelaskan perbedaan antara persegi dan persegi panjang dengan menggunakan gambar.

dokpri
dokpri
Lalu saya menjelaskan, dalam hal ini memberikan rumus yang sudah ada dan guru Jennifer di sekolah sudah mengajarkannya pada Jennifer dan kawan-kawan.

Tangkap Layar dari Brainly
Tangkap Layar dari Brainly

Keterangan : L = Luas; K = Keliling; s = sisi

Tangkap Layar dari referensisiswa.blogspot.com
Tangkap Layar dari referensisiswa.blogspot.com
Keterangan: K = Keliling; L = Luas; p = panjang; l  = lebar

Saya pun memberikan latihan soal cerita, dan Jennifer bisa mengerjakan, meskipun terkadang tidak teliti dalam hasil akhir perhitungan.

Namun, saya jadi kaget, waktu ibu Jennifer, memperlihatkan kertas ulangan harian yang dibagikan guru di pertemuan berikut. Ulangan Matematika. Jennifer mendapat nilai 35. "Jenni tidak ngerti cara ngerjakan soalnya. Tolong bapak jelaskan ya," pinta ibu Jennifer.

Saya merasa gagal sebagai guru. Dalam hati, saya bertanya-tanya, "Kok bisa anak ini mendapat nilai serendah ini?"

Saya meneliti kertas ulangan Jennifer. Saya menemukan masalahnya. Anak ini tidak teliti dalam membaca soal. Yang seharusnya mencari luas persegi, malah dia mencari keliling persegi panjang!

Contoh soalnya seperti ini: Hendro mempunyai papan tulis yang berbentuk persegi. Panjang sisinya adalah 4 meter. Berapakah luas papan tulis tersebut?

Jennifer menjawab : K = 2 x (p + l) = 2 x (4 + 4) = 16 m

Dia menyangka persegi itu persegi panjang! Dan yang dihitung juga keliling, bukan luas! Seharusnya, 

Luas papan tulis (berbentuk persegi) = sisi x sisi = 4 m x 4 m = 16 m2

Saya pun menasehati Jennifer untuk teliti waktu membaca soal. Jangan maunya cepat selesai, namun keliru dalam menggunakan rumus matematika.

Solusi untuk memecahkan masalah tidak teliti dalam membaca soal:

Saya memberikan masukan, saran pada ibu Jennifer, untuk lebih menumbuhkan minat membaca pada anaknya. Karena ini bukan masalah dia mengerti dalam mengerjakan atau tidak, namun dia tidak membaca soal dengan saksama. 

Saya rasa Jennifer tidak mempunyai minat membaca, karena di mata pelajaran bahasa Inggris, dia juga banyak melakukan kekeliruan dalam menulis. Kurang satu atau dua huruf sangat sering terjadi, seperti "eight" menjadi "eigh", "thirty" menjadi "thty", dan seterusnya. 

Kalau Jennifer membaca soal dengan teliti, kekeliruan menggunakan rumus matematika tidak akan terjadi. Yang harusnya menggunakan rumus mencari luas persegi, tapi dia keliru malah menggunakan rumus mencari keliling persegi panjang;  

Meskipun hasil perhitungan sama, namun cara mengerjakan keliru ya tetap keliru. Dan soal seperti ini, di kertas ulangan ada beberapa nomor, jadi tentu saja, nilainya minim, karena keliru dalam menerapkan rumus.

2. Tidak sabar dalam proses penjabaran perhitungan

Sepertinya, ini adalah "penyakit" dari kebanyakan generasi milenial, yaitu tidak suka dengan proses yang panjang. Sukanya, maunya cepat, sehingga menuliskan yang singkat saja, tapi melewatkan yang lain.

Saya rasa imbas dari Mbah Google terus "merasuk" jiwa kebanyakan anak-anak sekarang, karena dengan mengetikkan kata kunci apa pun, maka hasil akan langsung keluar. Berbeda dengan dulu, sebelum ada internet, untuk mencari cara atau jawaban dari soal yang sulit, harus membuka, membolak-balik halaman buku, membaca, sehingga ada proses pencarian untuk itu.

Internet bagus, tapi layaknya pisau bermata dua, ada dua sisi. Bisa berguna untuk memotong daging, tapi juga bisa melukai diri sendiri, kalau salah dalam menggunakan. Misalnya dari soal cerita berikut, Jennifer menjawab dengan cara seperti ini :

Reza membeli buku gambar. Buku gambar tersebut berbentuk persegi panjang. Panjangnya 68 cm dan lebarnya 25 cm. Berapakah luas buku gambar tersebut?

Jawab : L = p x l = 68 x 25 = 93 cm

Saya agak jengkel melihat proses penjabarannya. Padahal, waktu saya menjelaskan di les, tidak seperti itu. Memang, guru di sekolah, kalau saya melihat buku catatan sekolahnya, menjelaskan langsung seperti yang Jennifer tulis, tapi saya agak meragukan, mengingat anak ini lambat dalam menulis. Mungkin dia ketinggalan menulis detail penjabaran guru sekolahnya.

Padahal, saya menjabarkan seperti di bawah ini:

Diketahui: Buku Gambar berbentuk persegi panjang dengan panjang (p) = 68 cm dan lebar (l) = 25 cm
Ditanyakan: Luas buku gambar (berbentuk persegi panjang)?
Dijawab: Luas buku gambar (berbentuk persegi panjang) = panjang x lebar = 68 cm x 25 cm = 1700 cm2
Jadi luas buku gambar = 1700 cm2

Selain tertukar antara kali dan tambah, Jennifer langsung menggunakan rumus, tanpa penjabaran untuk lebih memperjelas jalan cerita.

Solusi untuk memecahkan masalah tidak sabaran dalam proses penjabaran perhitungan :

Saya menyarankan pada sang ibu, mengajarkan Jennifer untuk menjabarkan langkah demi langkah dalam menjawab soal cerita selepas les, di lima hari lainnya. Seperti halnya resep masakan, ada langkah pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.

Dengan menjabarkan secara langkah per langkah, maka kekeliruan, keteledoran, bisa diminimalisir.

3. Tidak hafal perkalian

Bukan hanya Jennifer, murid-murid les saya yang lain, yang ada di kelas tiga, empat, lima, dan enam, banyak yang tidak hafal perkalian satu sampai sepuluh. Ini sangat menyulitkan dalam mengerjakan soal.

Jennifer, seperti anak-anak yang lain, bergantung pada daftar perkalian di kertas terpisah, atau maunya mencari hasil perkalian di kalkulator.

Ini yang menjadi pekerjaan rumah yang besar.

Tentu saja, saya tak mungkin menyuruhnya menghafal saat les. 

Waktu saya menyuruh Jennifer menghitung ulang soal tentang luas buku gambar yang ada di sebab kedua, Jennifer bertanya, "Pak, 5 kali 8 berapa ya?"

Ini bagai petir di siang hari bolong.

Saya memintanya untuk menuliskan ke bawah, di kertas coretan.

1 x 8 = 8 
2 x 8 = 16 
3 x 8 = 24 
4 x 8 = 32 
5 x 8 = 40 

Saya mengatakan pada Jennifer, kalau daftar perkalian harus dihafal. Kenapa? Karena kan tidak mungkin, waktu ulangan atau ujian semester, melihat kertas yang berisi perkalian satu sampai sepuluh.

"Kalau kamu hafal, menyusun perkalian seperti di atas tidak perlu lagi dilakukan, karena memakan waktu. Kalau kamu sudah hafal perkalian satu sampai sepuluh, kamu akan cepat mengerjakan soal," saya menganjurkan pada Jennifer.

Solusi untuk memecahkan masalah tidak hafal perkalian :

Saya meminta pada orangtua murid, dalam hal ini, Ibu Jennifer, untuk memotivasi Jennifer, menghafal daftar perkalian. Dengan begitu, mempermudah dalam mengerjakan soal.

4. Tidak memeriksa kembali hasil perhitungan

Imbas dari sebab dua, kebanyakan anak tidak memeriksa kembali hasil perhitungan. Mereka merasa sudah selesai mengerjakan dan yakin kalau jawabannya benar. Kalaupun tidak yakin benar, mereka kebanyakan malas memeriksa, karena beralasan capek dan tidak tahu ada yang salah atau tidak.

Bagi saya, ini hal yang memprihatinkan. Cepat selesai sih bagus, namun tidak ada upaya untuk berbuat semaksimal, sebaik mungkin, dengan cara memeriksa ulang hasil perhitungan. Saya curiga, dalam mengarang pun seperti itu.

Misalnya, mereka mengarang cerita tentang pengalaman berlibur waktu liburan semester satu di bulan Desember 2018 yang baru lewat.

Kebanyakan dari mereka menulis jumlah kalimat yang sangat sedikit, seperti ada pernah, salah satu murid les saya mempunyai PR Bahasa Indonesia dengan topik liburan, dan dia mencontoh kalimat-kalimat yang saya berikan. Saya menuliskan lebih dari sepuluh kalimat, namun Jojo, sebut saja begitu, hanya menuliskan sekitar tiga sampai empat kalimat saja! Itu pun dia tidak memeriksa kembali tulisannya.

"Coba periksa tulisanmu. Revisi. Siapa tahu ada yang salah tulis. Tambahkan kalimat-kalimat lain, untuk memperkaya isi tulisan," saya memberi saran. Namun Jojo mengatakan, "Sudah benar ini, Pak. Sudah, ini aja sudah cukup."

Jelas-jelas saya melihat Jojo tidak memeriksa ulang karangannya. Dia merasa cukup dengan karangan tiga sampai empat kalimat saja. Dia memang tidak suka membaca dan menulis. Jennifer juga saya lihat seperti itu. Tidak suka membaca dan menulis.

Solusi untuk memecahkan masalah tidak memeriksa kembali hasil perhitungan :

Saya menyarankan kembali pada ibu Jennifer, selain menumbuhkan minat membaca, juga menumbuhkan kecintaan akan menulis. Misalnya, meminta Jennifer, setelah membaca sebuah buku cerita, lalu meminta dia untuk menuliskan dalam setengah halaman, untuk permulaan, menuliskan kembali cerita yang sudah dia baca dengan kata-kata sendiri. Nanti bisa ditingkatkan menjadi satu halaman, satu setengah halaman, dan seterusnya, kalau sudah terbiasa. 

Kalau Jennifer bisa melakukannya, Ibu Jennifer memberikan apresiasi berupa poin yang bisa ditukarkan dengan sejumlah uang nantinya. Ini misal saja, untuk memotivasi anak dalam membaca dan menulis.

Tujuan dari rajin membaca dan menulis, supaya Jennifer menjadi teliti, seperti kata Francis Bacon, seorang penulis dari Inggris :

Reading makes a full man; and writing an exact man.

Membaca membuat orang penuh; dan menulis membuat orang menjadi teliti.

Dengan terbiasa membaca, lalu menulis, kemudian memeriksa tulisan berulang kali, paling tidak, minimal tiga kali, maka kebiasaan revisi itu akan juga menular pada kebiasaan memeriksa ulang hasil perhitungan soal cerita dalam matematika.

Kunci Terakhir Adalah Pengulangan

Setelah melakukan keempat solusi di atas, mengulang adalah kunci terakhir. Karena pembelajaran butuh waktu, butuh latihan terus menerus. Tanpa pengulangan yang konsisten, takkan diperoleh hasil yang diinginkan. Perlu ada kerjasama yang baik antara ayah, ibu, dan guru les, untuk mendidik anak, bahwa tidak ada hasil gemilang tanpa proses kerja keras tiada henti.

Tidak cukup dengan belajar dari les privat dua kali seminggu, karena lima hari yang lain, perlu ada bimbingan orangtua juga, untuk terus mendisiplinkan anak, belajar dengan konsisten. Dengan koordinasi yang baik antara orangtua dan guru, niscaya, soal cerita dalam ulangan matematika tidak akan menjadi momok lagi bagi anak.

"Tidak ada yang terlalu sukar, asal ada niat untuk merubah keadaan dan bertindak ke arah kemajuan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun