"Jadi sepertinya harus pakai kacamata ya, Pak?" Saya memandang gadis cilik itu dengan iba. Masih belia, tapi sudah berkacamata. Ruang gerak pasti tak sebebas sebelumnya.
"Ya, mau bagaimana lagi, Pak. Kami dari desa, khusus datang ke kota, dirujuk ke dokter ini, untuk memeriksakan mata anak kami. Supaya lebih akurat."
"Memangnya pernah diperiksa di tempat lain?" tanya saya, karena sang bapak berkata 'supaya lebih akurat'.
"Iya. Kebetulan teman satu kampung, penjual kacamata. Periksa sama alatnya dia, pakai kacamatanya, tapi tetap saja, anak saya pusing, tidak bisa melihat dengan jelas. Jadi mau tidak mau, dibawa ke dokter."
"Lusi Wijaya," tiba-tiba sang asisten dokter memanggil.
"Kami masuk dulu ya, Pak," Sang bapak beserta istri dan anak yang ternyata bernama Lusi Wijaya beranjak berdiri.
"Oya, silakan, Pak," Saya berkata sambil tersenyum.
Setelah mereka bertiga berada di dalam kamar praktek dokter selama kurang lebih setengah jam, mereka pun keluar. Sang bapak menyerahkan secarik kertas kepada asisten dokter, sang asisten melihat sejenak, lalu mempersilahkan bapak tersebut untuk menunggu sebentar.
"Tuti Herawati," asisten dokter memanggil pasien berikut.
"Bagaimana hasilnya, Pak?" tanya saya pada sang bapak, yang kembali duduk di sebelah saya.
"Dokternya sangat menyayangkan kondisi mata anak saya. Minusnya besar, dan juga ada silindernya."