"Mau pinjam uang lagi?" tanya Pak Wagimin langsung, tanpa tedeng aling-aling lagi.
"Iya, Pak," Lina menghembuskan nafasnya, dia tahu sekali bagaimana bapaknya ini. Kalau bicara masalah uang, pasti penuh perhitungan, tapi Lina tetap melanjutkan, "Cucu Bapak, Januar, ingin menikah, sedangkan dana yang kami punyai tidak memadai."
"Ya, kalau begitu, jangan menikah dulu. Tunggu sampai uangnya cukup. Jangan memaksakan diri," jawab Pak Wagimin ketus.
"Kapan lagi harus menunggu, Pak?"
"Ternyata kamu sama seperti saudara-saudaramu yang lain. Hanya memikirkan soal harta Bapak. Uang Bapak yang ada di pikiran kalian untuk kalian gunakan seenaknya. Kamu tahu sendiri kan, Lin. Saudaramu ada berapa. Kalau semuanya meminta uang untuk biaya pernikahan anak-anak kalian, bapak bisa bankrut!"
"Nanti akan kami ganti, Pak. Bapak tidak usah khawatir."
"Mudah bicara seperti itu disaat perlu uang. Nanti disaat mengembalikan, banyak yang mangkir tidak membayar!"
"Pak, ...."
"Sudahlah. Bapak tidak mau memberikan. Kalian terlalu manja! Nanti kalau bapak mati, semua uang bapak ikut dikubur bersama-sama dengan bapak!"
Lina pun pulang dengan tangan hampa.
Akhirnya resepsi pernikahan berjalan apa adanya, dengan meminjam ke teman-teman dan juga ada tambahan dana dari menggadaikan BPKB sepeda motor Udin. "Demi anak," begitu ujar Udin.