Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

3 Rasa Kapok yang Takkan Pernah Kulupakan dalam Hidup

6 September 2018   22:07 Diperbarui: 6 September 2018   22:34 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : www.memecomic.id

Pengalaman buruk menjadi pelajaran berharga. Kadang-kadang menjadi tabungan nilai-nilai moral yang merupakan peringatan atau warning bagi kita untuk berhati-hati dalam melakukan berbagai hal di hidup ini.

"Saya nemu kecoak di sayur bening."

"Ada ulat di ikan."

"Pelayanan lambat di tempat air isi ulang itu."

Tiga pernyataan di atas adalah beberapa dari banyak alasan kenapa orang kapok entah kapok untuk membeli makanan, kapok untuk berteman, kapok untuk bertemu dengan seseorang atau entah kapok yang mana lagi.

Saya sendiri mendapati ada tiga rasa kapok terbesar dalam kehidupan saya.

Pertama - saya kapok menemukan ulat di ikan

Pengalaman ini tidak bakal saya lupakan, karena selain unik, juga menjadi pelajaran bagi saya kalau mau bisnis, jangan suka beralasan dan kalau pun harus mencari alasan, musti logis.

Dulu saya suka sarapan di warung A ini. Makanannya sih tidak terlalu istimewa, namun yang membuat saya betah adalah Ibu warung ramah dalam melayani. Itu yang menyebabkan saya selalu ingin kembali dan kembali sarapan di warung A.

Sayangnya, satu insiden menyebabkan saya tidak akan makan di warung itu lagi.

Insiden itu adalah ada satu ulat masih dalam kondisi hidup di kepala ikan goreng yang saya ingin santap.

Untungnya, belum ada satu sendok pun yang masuk ke mulut saya. Entah bagaimana kalau seandainya sudah ada yang tertelan. Mungkin saya sudah muntah saat itu.

"Bu, ini kok ada ulat di ikan."

"Ah, masa, Mas?"

"Lha, ini, Bu. ada," Saya menyodorkan piring dengan ikan yang mempunyai ulat di kepala ikan tersebut.

Dengan santainya, sang ibu mengambil ulat dengan tangan, lalu berkata, "Mungkin sendok yang ibu pakai tadi jatuh ke tanah, jadi ulatnya lengket di ikan. Mau ganti ikannya, Mas?"

Saya cuma geleng-geleng kepala dalam hati. Kok ya bisa, dengan entengnya si ibu bilang sendok untuk ambil ikan jatuh ke tanah, dan ulat itu tanpa sengaja nempel di sendok!

Selera makan saya pun jadi hilang seketika. "Tidak usah, Bu," Saya menjawab dengan sesopan mungkin dan kembali ke meja. Saya pura-pura menyendok, menguwir-nguwir nasi, tapi tidak sesuap pun yang mampir ke mulut.

Sekedar menunda waktu untuk segera angkat kaki.

Satu-dua menit cukup, air pun tak diminum, lalu membayar, meskipun sebenarnya saya mengharapkan nasi campur tadi gratis, karena ada bonus ulat yang tak diharapkan.

Si ibu seakan tak sadar, tetap mengenakan harga atas makanan yang sebenarnya tidak saya santap sama sekali.

Sampai sekarang, saya tak pernah kembali ke warung sang ibu. Kalau pun dia buka warung di tempat lain, saya tetap tidak akan makan atau membeli nasi di warungnya, karena kapok. Sang ibu bukannya sadar bahwa dia yang salah, malah membuat kesalahan fatal dengan menyalahkan ulat yang tak tahu diri menempel di sendok yang jatuh di tanah!

Kedua - Dimanfaatkan Orang Lain

Jangan langsung mengatakan 'ya' jika orang lain meminta bantuan.

Kenapa?

Karena bisa jadi Anda dimanfaatkan oleh orang tersebut untuk kepentingan dia, dan Anda yang dirugikan dari segi waktu istirahat Anda, tenaga, pikiran, dan mungkin bahkan dana.

Dulu saya sering menemui teman-teman semacam ini, namun sekarang saya bisa berkata 'tidak' karena saya sudah bisa memilah mana yang memang butuh bantuan saya tanpa aji mumpung alias memang butuh dibantu, dan mana yang memanfaatkan tenaga saya untuk kepentingan diri mereka sendiri dan saya dirugikan.

Rino (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu teman yang pernah memanfaatkan saya untuk kepentingannya tanpa rasa malu sama sekali.

Awal-awalnya saya membantu. Namun, sayangnya, tidak ada apa pun yang saya dapat. Jangankan uang, makanan pun tak ada.

Pernah dia datang jam sepuluh malam, dan meminta tolong untuk membantu mengetik soal ulangan semester di sekolahnya.

Saya kira konsepnya sudah jadi, tinggal ketik saja, ternyata malah tidak ada sama sekali, dan saya harus membuat soalnya, plus menambah gambar.

Selesai jam satu malam, dan selama tiga jam saya mengetik, Rino malah tidur.

Enak aja.

Akibat tidur terlambat, saya pun terlambat bangun dan terlambat mengajar.

"Harus ada honornya nih buatku. Kan aku yang ngetik soalnya. Kamu kan enak-enakan tidur."

"Upahmu besar di sorga," katanya dengan enteng.

Saya tidak mendapat apa-apa dari jerih payah saya.

Sejak itu, saya kapok membantu Rino. Saya merasa diperalat, dimanfaatkan oleh Rino. Gantian saya minta bantuan, dianya malah membantu setengah hati.

Ketiga - Kapok terlalu percaya pada atasan

"Saya gak mungkin pecat kamu."

Kalimat ini saya dengar dari atasan saya di bimbel tahun 2000.

Waktu itu tim pengajar cuma ada beberapa. Belum banyak.

Saya pun merasa tersanjung kalau tenaga saya dibutuhkan dan tak tergantikan di bimbel.

Namun seiring waktu berjalan, tenaga pengajar bertambah dan ada yang lebih baik dalam mengajar dibanding saya.

Saya sih tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Di atas langit, masih ada langit.

Ada pengajar yang lebih unggul dibanding saya adalah normal.

Yang membuat saya kapok adalah atasan sudah jarang ke bimbel, dan lebih percaya dengan tenaga administrasi yaitu Donna dan Yati (keduanya bukan nama sebenarnya).

Salah seorang pengajar, sebut saja Chandra (bukan nama sebenarnya) terkena 'bola panas' gosip kalau dia mengajak anak-anak yang les di bimbel supaya beralih les privat ke dia.

"Sabar aja, Dra. Bos mungkin lagi kurang bagus perasaannya," Saya berusaha menghibur.

"Mudah-mudahan kamu gak kena sial seperti aku, Ton. Difitnah."

Sialnya, saya kena sialnya, bernasib sama seperti Chandra.

Di situlah mata saya terbuka, bahwa saya tidak boleh sepenuhnya percaya pada manusia.

Saya harus percaya pada Tuhan saja yang kasih setia-Nya tak pernah berubah dulu, sekarang, dan sampai selama-lamanya.

Jangan percaya pada manusia seratus persen, karena manusia bisa ngomong A hari ini, esok hari bisa bicara B, C, bahkan Z. Kita bisa kecewa pada manusia.

Itulah sebabnya, kapok karena terlalu percaya pada atasan akan selalu saya ingat dimana pun saya bekerja.

* * *

Sebenarnya masih banyak kapok-kapok yang lain, namun tiga kapok di atas adalah yang terutama dalam benak saya sampai saat ini. Entah apakah akan ada kapok yang lebih hebat dari ketiga ini kelak ^_^.

Yang penting, apa pun juga yang saya hadapi, saya harus berpikir panjang sebelum bertindak.

Ini bukan artinya lamban, namun lebih baik cermat daripada cepat tapi celaka.

Dengan begitu, tidak akan ada kapok fatal yang akan saya terima. Kalau pun ada terjadi kapok, itu hanya dalam skala kecil saja.

'Kita tetap belajar seumur hidup dalam sekolah kehidupan.'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun