3. Tenkik (Informatika, Arsitek, Sipil)
4. Ilmu Sosial & Politik
5. Pendidikan Guru
6. Perawat kesehatan
7. Kedokteran
Tetapi ada perbandingan terbalik pada kondisi real dilapangan. Alasannya menurut saya adalah Classical-Paradigma yang mana dengan sendirinya menganjurkan agar setiap sarjana menjadi Pegawai Negeri Sipil, seperti Guru, PNS pada Instansi-instansi pemerintahan lainnya. Alasannya mengapa banyaknya sarjana ekonomi dan hukum di kampung saya cenderung menyerah pada nasib yang tersistematisasikan oleh paradigma-lama atau classical-paradigma, ini tercermin dari kondisi historis kita yang secara tegas menegaskan bahwa setiap orang asli kei adalah konservatif. Merasa sudah baku dan nyaman sehingga tidak perlu perubahan lagi, inilah yang saya saksikan dari setiap kaum tua pada kampung saya, tak heran jika banyak kaum muda pun terpaku dengan keadaan yang dibentuk kaum tua ini. Padahal kita tahu bahwa kondisi dunia terus mengalami perubahan. Mungkin inilah alasannya mengapa konflik-konflik berskala kecil terus-menerus timbul pada kampung saya ini, selain alasan primordial yang bersifat otonom yakni 'batas tanah dan perempuan' yang tersaji dalam ketetapan hukum adat setempat.
Arus perubahan global memicu berbagai polemik pada kota kecil ini, mulai dari gaya hidup, bahasa, sampai pada prilaku seksual seseorang. Semuanya tersaji lewat media televisi yang tidak memfiltrasi berbagai tayangan yang berdampak konsumtif yang mengakibatkan setiap dari kaum muda terpelajar menjadi dilema dengan kondisi kekinian yang cenderung dipandang bertentangan dengan teori-teori efisiensi kehidupan yang dipelajari pada bangku kuliah.
Tak dapat dibendung, arus konsumsi menjadi tak terkontrol pada kampung saya ini, khususnya pada kaum muda. Saya beri beberapa contoh, pertama, konsumsi dibidang teknik, saya sebut 'motor'. Setiap rumah di kampung saya ini memiliki 2 s/d 4 kendaraan roda dua, bahkan ada yang 5 atau 6 unit. Rumah tangga yang memiliki 2 s/d 4 unit adalah mereka dengan latarbelakang pekerjaan sebagai PNS apolitis, buruh, ojek, pedagang kecil. Sedang yang memiliki 5 bahkan 6 adalah PNS politis, pengusaha, pedagang besar.
Kedua, konsumsi elektronik, khususnya dibidang perangkat telekomunikasi. Setiap orang di Tual dari semua kalangan memiliki minimal dua unit telepon genggam, saya ngga tahu apa alasannya yang jelas ini memperlihatkan sisi gengsi-ekonomis yang tinggi disetiap kalangan oleh setiap orang. Bahkan yang terkini adalah budaya BB (BlackBerry). BB ini pun tak lolos dari gaya hidup konsumtif masyarakat kota Tual umumnya kaum muda. Kebanyakan dari mereka tak mengerti cara penggunaan BB secara maksimal, bahkan ketika Kemenkominfo menerima kabar bahwa network blackberry yang berasal dari Rusia yang digunakan oleh pengguna BB diIndonesia akan dihentikan, para pengguna ini tidak risau dengan hal ini, dengan memperlihatkan angka penggunaa BB yang semakin meluas di Indonesia, termasuk salah satunya kampung saya ini.
Sungguh fenomenal kampung saya ini. Satu hal yang tidak diperhatikan oleh masyarakat kampung saya dan Indonesia secara umum, bahwa budaya kritis dalam segala hal termasuk konsumsi ini belum terlaksanan oleh setiap orang, alasannya saya kembalikan kepada institusi pendidikan, karena mereka yang membangun teori kritis pada masyarakat, dan ini telah diamanatkan oleh konstitusi kita bahwa "tujuan bernegara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa."
Kemudian yang saya temui pada masyarakat kampung saya ini adalah sebagian besar dari mereka belum mempunyai kesadaran politik. Bukan politik partai ya.. Kesadaran politik yang saya maksud adalah menempatkan politik sebagai bagian dari landasan untuk membangun kehidupan yang aman, damai, serta sejahtera. Kesadaran sosial yang tertuang dalam perilaku tradisi atau adat-istiadat telah teraplikasi hanya saja saya merasa perlunya kesadaran politik yang berdampingan dengan kesadaran sosial dan agama agar mampu meraih sebuah tatanan masyarakat yang sejahtera, saling menghargai. Jika hal ini telah terpenuhi maka pertumbuhan ekonomi rakyat akan mengambil posisi pada landscape kota Tual kampung saya ini.