Tiara berdiri dari tempat duduknya hendak berpindah ke tempat tidur. Saat berdiri, keluarlah ketuban bening bersamaan dengan kontraksi berikutnya. Dia meremas rok dasternya sambil menahan nyeri.
Tiara mencoba posisi yang nyaman dengan berbaring. Balik kiri, balik kanan, tak ditemukan posisi nyaman tersebut. Justru darah semakin mengalir hingga membercak di selimutnya.
      Tiba-tiba, entah tenaga dari mana, Tiara mengejan tanpa aba-aba. Keluarlah bongkahan bayi sangat mungil berserta darah di tempat tidur tanpa alat bantu sama sekali.
Aku adalah saksi bagaimana Tiara hampir meregang nyawa di depan mata bulatku. Aku panik, Tiara tak sadarkan diri dan bayi sangat mungil itu tak menangis.
Mas Andhika tiba di rumah terlambat. Dia disambut isteri yang pingsan dan bayi sangat mungil tanpa suara. Bergegas Mas Andhika menelpon dokter untuk meminta bantuan.
Setelah Dokter Astika menangani Tiara, beberapa saat kemudian Tiara siuman. Perlahan dia mengedipkan mata berkali-kali, tampak begitu berat. Mas Andhika lekas meraih tangan Tiara untuk menyambut pikiran sadarnya.
"Mas, anak kita mana?" Pertanyaan pertama Tiara setelah kesadarannya benar-benar pulih.
"Kamu istirahat dulu, ya. Enggak usah khawatir," sahut Mas Andhika lembut.
"Apa yang terjadi, Mas? Anak kita mana?" desak Tiara yang hampir meronta.
Mas Andhika tak mampu menjelaskan kenyataan bahwa bayinya telah gugur saat dilahirkan. Dirinya sendiri bahkan belum mampu menerima kenyataan tersebut, bagaimana dia mampu menjelaskannya pada Tiara?
Dari ekspresi Mas Andhika yang hanya membisu, bahkan berlinang air mata, Tiara sudah mampu menafsirkan apa yang terjadi pada bayinya. Sebelum Tiara kehilangan kesadarannya, dia sempat melihat bayinya keluar tanpa suara. Semakin terguncanglah jiwa Tiara dengan kenyataan bahwa bayinya terlahir prematur dan tak bernyawa.