Mohon tunggu...
Halima Maysaroh
Halima Maysaroh Mohon Tunggu... Guru - PNS at SMP PGRI Mako

Halima Maysaroh, S. Pd., Gr. IG/Threads: @hamays_official. Pseudonym: Ha Mays. The writer of Ekamatra Sajak, Asmaraloka Biru, Sang Kala, Priangga, Prima, Suaka Margacinta, Bhinneka Asa, Suryakanta Pulau Buru

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Angka Pernikahan di Indonesia Menurun: Mengulik Trauma Masa Kecil dan Kesiapan Mental

11 November 2024   21:04 Diperbarui: 12 November 2024   13:16 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ulasan ini ditulis berdasarkan hasil riset dari beberapa sumber. Salah satunya sumber terpercaya dari pegawai KUA di Kecamatan Lolong Guba, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Benar saja, angka pendaftaran pernikahan menurun di tahun 2024 ini. Angka pendaftaran pernikahan di KUA ini lebih sedikit dibandingkan pendaftaran pernikahan di tahun-tahun sebelumnya.

Secara umum, dilansir dari CNN Indonesia berdasarkan laporan data Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahawa angka pernikahan di Indonesia menurun paling drastis 3 tahun terakhir. Angka pernikahan sejak 2021 hingga 2023 saja menyusut hingga 2 juta.

Menurunnya angka pernikahan di Indonesia didominasi masalah umum berkutat soal finansial. Tetapi tidak sedikit juga menurunnya angka pernikahan dipengaruhi oleh pola pikir yang berubah dan kesiapan mental bagi kaum muda yang sudah melek terhadap mental healthy.

Trauma Masa Kecil Seseorang Mempengaruhi Keputusan Menikah

Sebelum menulis ulasan ini, terdapat kesempatan kecil untuk bertanya kepada seorang gadis (tidak berkenan disebut namanya) yang telah berumur 26 tahun. Ukuran seseorang yang tinggal di desa, usia 26 tahun sudah termasuk memasuki usia cukup matang untuk menikah. Namun gadis ini masih enggan menikah dan memilih fokus bekerja.

Bukan hanya tampak matang dari usia, dia juga telah bekerja di sebuah instansi ternama. Hal ini mampu membuat orang-orang melipat dahi saat mendengar penjelasannya bahwa dia belum siap menikah.

Setelah dikulik, dia bersedia menjelaskan alasannya tanpa bertele-tele dan tanpa alasan klise terkait finansial secara general saja. Memang benar, salah satunya terkait finansial. Dia mengalami trauma masa kecil yang terus melekat di benaknya hingga saat ini. Naik turun perekonomian orang tuanyalah yang menggores trauma mendalam.

Dia terlahir sebagai anak kedua dari enam bersaudara dan sebagai anak perempuan paling tua. Sebagai anak perempuan paling tua, dia sejak kecil telah dibebani untuk mengasuh adik-adiknya. 

Dia nyaris kehilangan masa kecil untuk bermain sesuai dengan kehendaknya. Selama masa kecil, dia hanya bisa bermain sembari menjaga adik-adik yang rentang usianya tidak jauh berbeda dengannya.

Di masa tersulitnya, dia pulalah yang harus menebalkan muka untuk berutang di kios-kios sembako ketika di rumah tidak tersedia bahan makanan. Pundak kecil itu bukan hanya kehilangan kesempatan bermain sesuka hati, tetapi juga harus kehilangan rasa diayomi karena harus sibuk mengayomi.

Luka masa kecil itu yang kini masih membekas goresannya. Seiring waktu lukanya memang kering, orang-orang yang pernah menghujatnya pun telah dimaafkan, dia sudah berkompromi dengan takdir yang sudah terjadi. Tetapi bekas lukanya tidak semudah itu memudar.

Dia tidak bisa memilih lahir dari ayah dan ibu yang mana. Tetapi untuk memperbaiki hidup, dia bisa memilih menikah dengan siapa, menikah dengan orang yang mindset sejalan, menikah kapan, menikah di mana, kapan punya anak dan rencana ke depan lainnya. Dari pemikiran itulah muncul keputusan untuk tidak menikah dini. Belum habis rasa trauma masa kecil dan menikah bukanlah obat dari sakitnya trauma itu.

"Saya enggak mau, anak saya nanti harus mengasuh anak-anak saya lainnya. Saya mau anak saya hidup dengan meraih apa-apa yang dia inginkan. Saya tidak mau merusak masa kanak-kanak anak saya dengan kendala finansial," ujarnya. 

Bisa dimengerti bahwa dengan menjamin anak-anaknya kelak hidup layak adalah obat paling ampun dalam menyembuhkan trauma masa kecil.

Saat ini, dia sedang serius menaikan value diri daripada sibuk bersaing dengan kawan-kawannya yang sudah menikah. Untuknya, lebih baik terlambat menikah daripada terlambat menyadari bahwa menikah tanpa kesiapan matang akan membawanya kepada trauma jilid 2.

Kesiapan Mental Menjadi prioritas Gen Z

Belakangan isu tentang kesehatan mental memang mencuat dan menyita perhatian publik. Beramai-ramai orang memprioritaskan kesehatan mental dan mengkampanyekan kesehatan mental itu sendiri. Bagaimana tidak, luka tubuh dapat lekas diobati sedangkan luka mental itu cenderung abadi.

Gen Z yang begitu melek dengan isu kesehatan mental menjadikan ini alasan untuk tidak lekas mengambil keputusan menikah. Kini, masih banyak gen Z yang lahir sebelum tahun 2000 masih single dan menikmati hidupnya.

Berdasarkan riset yang penulis lakukan kepada beberapa gen Z, kekuatan mental yang dirisaukan terkait pernikahan adalah memiliki anak. Khususnya para perempuan, seorang perempuan harus memastikan mentalnya mampu menerima orang baru dalam rahimnya, menyusui manusia baru ketika terlahir ke dunia, bahkan mungkin harus kehilangan karier yang selama ini dirintisnya hanya demi merawat si buah hati.

Banyak gadis-gadis pekerja yang belum siap kehilangan pekrjaannya untuk menjadi full time mom. Gadis seperti ini hanya mau dinikahi oleh pria yang mapan atau pria yang tetap mengizinkannya berkarier.

Kalau kesiapannya soal anak, bisa saja untuk memilih child free. Hanya saja keputusan itu masih dianggap tabu di Indonesia. Sungguh tidak mudah menemukan pria yang ujug-ujug mau diajak menikah dan memilih hidup child free. Setelah menikah pasti akan dibanjiri pertanyaan, "Kapan punya anak?"

Kesehatan mental berikutnya yang harus dijaga adalah soal maraknya perceraian. Saat ini, tidak sedikit bahkan gen Z telah menjanda di usia muda.

Perceraian di usia muda menjadi momok yang sangat menakutkan. Gen Z berpikir lebih baik menikah terlambat dari mana menikah bukan dengan orang yang tepat. Lebih baik ditertawai karena belum menikah daripada tidak dapat tertawa lagi setelah menikah. Begitu motto gen Z belakangan ini.

Demikian beberapa hasil riset kecil dan sederhana yang dilakukan pada orang-orang sekitar terkait menurunnya angka pernikahan dewasa ini. Sebenarnya bukan tentang kapan menikah, tetapi tentang dengan siapa harus menikah? Jika dengan orang yang tepat, dengan finansial dan mental yang tepat, semua akan baik-baik saja. Menikah tidak perlu buru-buru, mereka hanya bertanya kapan menikah, bukan ingin membiayai hidupmu setelah menikah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun