Mohon tunggu...
Halima Maysaroh
Halima Maysaroh Mohon Tunggu... Guru - PNS at SMP PGRI Mako

Halima Maysaroh, S. Pd., Gr. IG/Threads: @hamays_official. Pseudonym: Ha Mays. The writer of Ekamatra Sajak, Asmaraloka Biru, Sang Kala, Priangga, Prima, Suaka Margacinta, Bhinneka Asa, Suryakanta Pulau Buru

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Angka Pernikahan di Indonesia Menurun: Mengulik Trauma Masa Kecil dan Kesiapan Mental

11 November 2024   21:04 Diperbarui: 12 November 2024   13:16 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia tidak bisa memilih lahir dari ayah dan ibu yang mana. Tetapi untuk memperbaiki hidup, dia bisa memilih menikah dengan siapa, menikah dengan orang yang mindset sejalan, menikah kapan, menikah di mana, kapan punya anak dan rencana ke depan lainnya. Dari pemikiran itulah muncul keputusan untuk tidak menikah dini. Belum habis rasa trauma masa kecil dan menikah bukanlah obat dari sakitnya trauma itu.

"Saya enggak mau, anak saya nanti harus mengasuh anak-anak saya lainnya. Saya mau anak saya hidup dengan meraih apa-apa yang dia inginkan. Saya tidak mau merusak masa kanak-kanak anak saya dengan kendala finansial," ujarnya. 

Bisa dimengerti bahwa dengan menjamin anak-anaknya kelak hidup layak adalah obat paling ampun dalam menyembuhkan trauma masa kecil.

Saat ini, dia sedang serius menaikan value diri daripada sibuk bersaing dengan kawan-kawannya yang sudah menikah. Untuknya, lebih baik terlambat menikah daripada terlambat menyadari bahwa menikah tanpa kesiapan matang akan membawanya kepada trauma jilid 2.

Kesiapan Mental Menjadi prioritas Gen Z

Belakangan isu tentang kesehatan mental memang mencuat dan menyita perhatian publik. Beramai-ramai orang memprioritaskan kesehatan mental dan mengkampanyekan kesehatan mental itu sendiri. Bagaimana tidak, luka tubuh dapat lekas diobati sedangkan luka mental itu cenderung abadi.

Gen Z yang begitu melek dengan isu kesehatan mental menjadikan ini alasan untuk tidak lekas mengambil keputusan menikah. Kini, masih banyak gen Z yang lahir sebelum tahun 2000 masih single dan menikmati hidupnya.

Berdasarkan riset yang penulis lakukan kepada beberapa gen Z, kekuatan mental yang dirisaukan terkait pernikahan adalah memiliki anak. Khususnya para perempuan, seorang perempuan harus memastikan mentalnya mampu menerima orang baru dalam rahimnya, menyusui manusia baru ketika terlahir ke dunia, bahkan mungkin harus kehilangan karier yang selama ini dirintisnya hanya demi merawat si buah hati.

Banyak gadis-gadis pekerja yang belum siap kehilangan pekrjaannya untuk menjadi full time mom. Gadis seperti ini hanya mau dinikahi oleh pria yang mapan atau pria yang tetap mengizinkannya berkarier.

Kalau kesiapannya soal anak, bisa saja untuk memilih child free. Hanya saja keputusan itu masih dianggap tabu di Indonesia. Sungguh tidak mudah menemukan pria yang ujug-ujug mau diajak menikah dan memilih hidup child free. Setelah menikah pasti akan dibanjiri pertanyaan, "Kapan punya anak?"

Kesehatan mental berikutnya yang harus dijaga adalah soal maraknya perceraian. Saat ini, tidak sedikit bahkan gen Z telah menjanda di usia muda.

Perceraian di usia muda menjadi momok yang sangat menakutkan. Gen Z berpikir lebih baik menikah terlambat dari mana menikah bukan dengan orang yang tepat. Lebih baik ditertawai karena belum menikah daripada tidak dapat tertawa lagi setelah menikah. Begitu motto gen Z belakangan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun