Dia tidak bisa memilih lahir dari ayah dan ibu yang mana. Tetapi untuk memperbaiki hidup, dia bisa memilih menikah dengan siapa, menikah dengan orang yang mindset sejalan, menikah kapan, menikah di mana, kapan punya anak dan rencana ke depan lainnya. Dari pemikiran itulah muncul keputusan untuk tidak menikah dini. Belum habis rasa trauma masa kecil dan menikah bukanlah obat dari sakitnya trauma itu.
"Saya enggak mau, anak saya nanti harus mengasuh anak-anak saya lainnya. Saya mau anak saya hidup dengan meraih apa-apa yang dia inginkan. Saya tidak mau merusak masa kanak-kanak anak saya dengan kendala finansial," ujarnya.Â
Bisa dimengerti bahwa dengan menjamin anak-anaknya kelak hidup layak adalah obat paling ampun dalam menyembuhkan trauma masa kecil.
Saat ini, dia sedang serius menaikan value diri daripada sibuk bersaing dengan kawan-kawannya yang sudah menikah. Untuknya, lebih baik terlambat menikah daripada terlambat menyadari bahwa menikah tanpa kesiapan matang akan membawanya kepada trauma jilid 2.
Kesiapan Mental Menjadi prioritas Gen Z
Belakangan isu tentang kesehatan mental memang mencuat dan menyita perhatian publik. Beramai-ramai orang memprioritaskan kesehatan mental dan mengkampanyekan kesehatan mental itu sendiri. Bagaimana tidak, luka tubuh dapat lekas diobati sedangkan luka mental itu cenderung abadi.
Gen Z yang begitu melek dengan isu kesehatan mental menjadikan ini alasan untuk tidak lekas mengambil keputusan menikah. Kini, masih banyak gen Z yang lahir sebelum tahun 2000 masih single dan menikmati hidupnya.
Berdasarkan riset yang penulis lakukan kepada beberapa gen Z, kekuatan mental yang dirisaukan terkait pernikahan adalah memiliki anak. Khususnya para perempuan, seorang perempuan harus memastikan mentalnya mampu menerima orang baru dalam rahimnya, menyusui manusia baru ketika terlahir ke dunia, bahkan mungkin harus kehilangan karier yang selama ini dirintisnya hanya demi merawat si buah hati.
Banyak gadis-gadis pekerja yang belum siap kehilangan pekrjaannya untuk menjadi full time mom. Gadis seperti ini hanya mau dinikahi oleh pria yang mapan atau pria yang tetap mengizinkannya berkarier.
Kalau kesiapannya soal anak, bisa saja untuk memilih child free. Hanya saja keputusan itu masih dianggap tabu di Indonesia. Sungguh tidak mudah menemukan pria yang ujug-ujug mau diajak menikah dan memilih hidup child free. Setelah menikah pasti akan dibanjiri pertanyaan, "Kapan punya anak?"
Kesehatan mental berikutnya yang harus dijaga adalah soal maraknya perceraian. Saat ini, tidak sedikit bahkan gen Z telah menjanda di usia muda.
Perceraian di usia muda menjadi momok yang sangat menakutkan. Gen Z berpikir lebih baik menikah terlambat dari mana menikah bukan dengan orang yang tepat. Lebih baik ditertawai karena belum menikah daripada tidak dapat tertawa lagi setelah menikah. Begitu motto gen Z belakangan ini.