Oknum netizen yang berkomentar tak pantas tanpa menilik fakta terlebih dahulu justru menampakkan kualitas sumber daya manusia Indonesia seperti apa.Â
Mereka tidak terima jika bahasa Indonesia disebut miskin kosakata dan masyarakatnya malas.Â
Tetapi dari caranya berkomentar sembarangan tanpa menilik fakta terlebih dahulu, justru memvalidasi penyataan influencer tersebut bahwa masyarakat Indonesia malas, terlebih malas membaca dan mencari fakta.
Pemilihan redaksi kata
Setelah beberapa warganet Indonesia lainnya menguak fakta terkait jumlah kosakata bahasa Indonesia yang memang lebih sedikit daripada bahasa Arab dan Inggris, maka warganet hujaters membelokkan opini bahwa cara penyampaian influencer itu yang keliru.
Baiknya tidak mengatakan bahasa Indonesia miskin kosakata tetapi katakanlah bahasa Indonesia masih kurang kosakata.
Segelintir warganet membelokkan opini hujatannya ke arah redaksi kata yang dipilih oleh influecer tersebut.
Warganet Indonesia juga tidak setuju dengan influencer tersebut yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia malas. Kata-kata yang dianggap keliru ini yang menjadikan warganet geram.
Memang masyarakat Indonesia dikenal dengan keramahan dan tata kramanya yang unggul. Menggunakan kata yang sopan dan baik akan lebih dapat diterima. Mungkin tidak mengatakan bahwa orang-orang Indonesia malas, tetapi katakan saja orang-orang Indonesia harus lebih semangat dan giat lagi.
Dari tuntutan untuk influencer berkata dengan redaksi kata yang tepat, alih-alih warganet memberikan contoh kata yang benar tetapi malah mengeluarkan jurus andalan kata-kata cemooh yang dimiliki kosakata Indonesia di kolom komentar unggahan tersebut.
Berkata kasar dan tidak memilih kata yang berkelas dan elegan di kolom komentar seseorang rupanya memang sudah menjadi suatu pembenaran.
Prioritaskan kuantitas atau kualitas?
Dari fenomena warganet Indonesia yang tidak menerima baik dengan pernyataan bahasa Indonesia miskin kosakata, bisa dilihat bahwa kuantitas itu lebih menjadi sorotan.