Mohon tunggu...
Halima Maysaroh
Halima Maysaroh Mohon Tunggu... Guru - PNS at SMP PGRI Mako

Halima Maysaroh, S. Pd., Gr. IG/Threads: @hamays_official. Pseudonym: Ha Mays. The writer of Ekamatra Sajak, Asmaraloka Biru, Sang Kala, Priangga, Prima, Suaka Margacinta, Bhinneka Asa, Suryakanta Pulau Buru

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tertawa Melihat Orang Susah: Sekomedi Itukah Hidupmu?

25 Januari 2024   09:12 Diperbarui: 26 Januari 2024   01:00 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (SHUTTERSTOCK/fizkes) via kompas.com 

Lelucon semestinya adalah media untuk menciptakan tawa dan menumbuhkan rasa bahagia. Nyatanya orang yang tertawa itu belum tentu orang yang bahagia atau senang dengan apa-apa yang ditertawakan.

Tawa bisa saja bentuk sebuah klamufase dari ungkapan menghina. Sudah lumrah di dunia ini orang menertawakan sesuatu bukan karena merasa lucu dalam artian yang sesungguhnya. Justru tawa meledak disebabkan oleh sesuatu yang dianggap remeh atau bentuk penghinaan.

Nyatanya sering didengar istilah bahwa banyak orang susah melihat orang lain senang dan justru akan senang melihat orang lain susah. Ini suatu fakta yang memang ada di sekitar, bukan hanya ada pada  peran antagonis di drama-drama.

Rasanya semua orang pernah berada di posisi ini. Di mana justru menerima tawa dari orang lain di kala sulit. Tidak punya uang ditertawai, berparas tak jelita ditertawai, bisnis bangkrut ditertawai dan lain-lain.

Sekomedi itukah hidup? Mengapa orang tidak tertarik pada sesuatu yang indah dan memujinya sebagai anugerah? Justru tertarik pada gosip buruk, kesialan, dan kehancuran orang lain untuk ditertawakan. Apakah itu lebih lucu dari sitkom yang ditayangkan di layar televisi?

Berikut akan saya ceritakan sekilas perih hidup saya yang ternyata mampu mengundang tawa orang. Yang membuat saya sadar bahwa selucu itu perih dan perjuangan saya di mata orang lain.

Honorer ditertawai, PNS juga ditertawai

Saya sempat menjadi tenaga honorer di salah satu SMA Negeri di Kota Ambon rentang waktu tahun 2011 hingga akhir 2018. Sebenarnya saya baik-baik saja sebagai tenaga honorer yang gajinya cenderung kecil itu. Secara finansial tidak merasa kekurangan satu apapun, sebab saya tidak hidup dari gaji sebagai honorer.

Ditertawai sebagai honorer sebenarnya bukan hanya sekali dua kali diterima. Tawa-tawa itu jatuhnya sinis dan menjurus kehinaan.

Misalnya diawali dengan sebuah pertanyaan, "Masih honor, ya? Hihihihi." Diiringi senyum dan tawa tipis-tipis. Ya sudahlah, saya tidak tersinggung sampai di situ.

Hingga pada suatu hari, saya pulang dari sekolah tempat saya bekerja. Waktu itu saya menggunakan angkutan umum untuk perjalanan berangkat dan pulang kerja. Sepulang kerja, untuk memperoleh angkutan umum menuju rumah, saya masih harus naik angkutan umum dulu ke terminal. Untuk meringkas waktu yang cenderung macet di sekitar terminal, saya berinisitif jalan kaki mencari jalan pintas untuk mendapatkan angkutan umum yang langsung trayeknya menuju rumah. Jalan pintas itu melintasi suatu asrama.

Seperti asrama-asrama lain, di situ juga ada orang yang piket berjaga. Saya meminta izin untuk lewat sebab saya lihat setiap harinya orang berlalu lalang lewat jalan pintas itu.

Tetapi saat itu salah satu orang mencegah saya dan mengatakan bahwa jalan pintas itu bukan jalanan umum yang tidak semua orang boleh lewat.

Sedangkan kawan piket lainnya mempersilakan saya untuk lewat saja. Karena tidak enak hati, saya mengurungkan diri untuk lewat dan memilih untuk melintasi jalan lain. Saya tetap tersenyum, meminta maaf dan undur diri.

Seseorang yang sempat mempersilakan saya lewat berkata, "Dia marah itu, makanya memilih tidak jadi lewat."

Sedangkan seseorang yang melarang saya lewat berkata, "Hallah, cuma honorer saja kok, hahaha."

Dari tawa riang itu bukan hanya hinaan saya peroleh, tetapi saya merasa selucu itukah perjuangan saya menjadi honorer sampai seorang honorer tidak diperkenankan lewat jalan yang nyatanya dilewati siapa saja bahkan siswa-siswi yang hendak naik angkutan umum pulang. Bahkan saat dikira marah pun, orang tidak peduli sebab hanya seorang honorer.

Jangan salah, apakah setelah terbebas dari status sebagai honorer tidak menerima tawa?

Oh, tidak berhenti sampai di situ.

Sewaktu saya lolos tes CPNS jalur tes secara online/ Computer Assisted Test (CAT), tawa dari orang lain masih berdengung di telinga.

Waktu itu saya mendapat formasi tugas di pesisir pulau. Di mana untuk menjangkaunya saja harus menumpangi perahu mesin dari kota kabupaten. Otomatis mengharuskan saya untuk tinggal di pesisir yang kala itu minim listrik dan susah sinyal internet.

Sewaktu libur kerja, saya berkunjung di desa tempat keluarga tinggal. Di sanalah seseorang menertawai juang saya di tempat tugas,

"PNS itu memang seperti itu. Harus mau ditempatkan di mana saja. Termasuk tugas di lokasi terpencil. Makanya saya enggak mau jadi PNS yang harus mau-mau saja, harus nurut-nurut saja. Hahaha."

Tawa itu bergitu bergelak, seolah nenertawakan komedian di acara-acara pentas komedi. Silakan menertawakan susahnya saya kala itu, tapi untuk menjadi penyebab dia tidak mau jadi PNS di situlah saya sebenarnya tidak berkenan ditertawakan. Sebab tidak satu orang pun yang memaksakan untuk menjadi PNS sedangkan jutaan orang di luar sana berjuang untuk menjadi pejuang NIP. Sekomedi itukan PNS yang berjuang di lokasi tugas dengan medan dan akses yang sulit.

Apapun status kepegawaian saya, di situlah ada tawa dan lelucon meremehkan. Intinya, bagian yang susah-susahnya itu adalah bagian untuk ditertawakan bagi orang lain.

Tidak punya rumah ditertawakan, punya rumah ditertawakan

Saat merantau di Ambon, saya pernah tinggal di rumah kontrakan selama 6 tahun lamanya. Hingga akhirnya memiliki rumah pribadi yang ditempati pada Januari 2014 silam.

Selama tinggal di rumah kontakan entah berapa ribu tawa yang didengar yang menjurus pada keadaan sulit saya waktu itu. Bagaimana tidak tampak sulit, saya sengaja mengontrak rumah yang murah dengan kondisi amat sangat sederhana, demi dapat menabung dan membangun rumah sendiri. Rumah yang sederhana dan cenderung di bawah kelayakan itulah yang mampu mengundang tawa orang lain.

Sayangnya tidak begitu lama saya tinggal di rumah pribadi dan harus pindah untuk bertugas 2019 lalu. Di tempat tugas yang baru, saya mulai dari nol dan membangun rumah kembali. Rumah yang tidak begitu luas, sebab lahan tanahnya pun terbatas. Rumah ukuran 7x17 meter yang memanjang ke belakang itu jadi bahan tawaan pula.

"Rumah kecil begitu memangnya bakal cukup ditinggalin sekeluarga? Hahaha."

Ternyata tinggal di rumah pribadi pun masih bisa mengundang aura komedi hanya karena rumahnya kecil.

Abaikan tawa itu, yang penting selalu berkembang lebih baik dari hari ke hari. Begitu prinsip saya. Tidak apa kekurangan saya ditertawai dan dianggap lelucon. Mungkin memang serendah itu level selera humor mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun