"PNS itu memang seperti itu. Harus mau ditempatkan di mana saja. Termasuk tugas di lokasi terpencil. Makanya saya enggak mau jadi PNS yang harus mau-mau saja, harus nurut-nurut saja. Hahaha."
Tawa itu bergitu bergelak, seolah nenertawakan komedian di acara-acara pentas komedi. Silakan menertawakan susahnya saya kala itu, tapi untuk menjadi penyebab dia tidak mau jadi PNS di situlah saya sebenarnya tidak berkenan ditertawakan. Sebab tidak satu orang pun yang memaksakan untuk menjadi PNS sedangkan jutaan orang di luar sana berjuang untuk menjadi pejuang NIP. Sekomedi itukan PNS yang berjuang di lokasi tugas dengan medan dan akses yang sulit.
Apapun status kepegawaian saya, di situlah ada tawa dan lelucon meremehkan. Intinya, bagian yang susah-susahnya itu adalah bagian untuk ditertawakan bagi orang lain.
Tidak punya rumah ditertawakan, punya rumah ditertawakan
Saat merantau di Ambon, saya pernah tinggal di rumah kontrakan selama 6 tahun lamanya. Hingga akhirnya memiliki rumah pribadi yang ditempati pada Januari 2014 silam.
Selama tinggal di rumah kontakan entah berapa ribu tawa yang didengar yang menjurus pada keadaan sulit saya waktu itu. Bagaimana tidak tampak sulit, saya sengaja mengontrak rumah yang murah dengan kondisi amat sangat sederhana, demi dapat menabung dan membangun rumah sendiri. Rumah yang sederhana dan cenderung di bawah kelayakan itulah yang mampu mengundang tawa orang lain.
Sayangnya tidak begitu lama saya tinggal di rumah pribadi dan harus pindah untuk bertugas 2019 lalu. Di tempat tugas yang baru, saya mulai dari nol dan membangun rumah kembali. Rumah yang tidak begitu luas, sebab lahan tanahnya pun terbatas. Rumah ukuran 7x17 meter yang memanjang ke belakang itu jadi bahan tawaan pula.
"Rumah kecil begitu memangnya bakal cukup ditinggalin sekeluarga? Hahaha."
Ternyata tinggal di rumah pribadi pun masih bisa mengundang aura komedi hanya karena rumahnya kecil.
Abaikan tawa itu, yang penting selalu berkembang lebih baik dari hari ke hari. Begitu prinsip saya. Tidak apa kekurangan saya ditertawai dan dianggap lelucon. Mungkin memang serendah itu level selera humor mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H