Seperti asrama-asrama lain, di situ juga ada orang yang piket berjaga. Saya meminta izin untuk lewat sebab saya lihat setiap harinya orang berlalu lalang lewat jalan pintas itu.
Tetapi saat itu salah satu orang mencegah saya dan mengatakan bahwa jalan pintas itu bukan jalanan umum yang tidak semua orang boleh lewat.
Sedangkan kawan piket lainnya mempersilakan saya untuk lewat saja. Karena tidak enak hati, saya mengurungkan diri untuk lewat dan memilih untuk melintasi jalan lain. Saya tetap tersenyum, meminta maaf dan undur diri.
Seseorang yang sempat mempersilakan saya lewat berkata, "Dia marah itu, makanya memilih tidak jadi lewat."
Sedangkan seseorang yang melarang saya lewat berkata, "Hallah, cuma honorer saja kok, hahaha."
Dari tawa riang itu bukan hanya hinaan saya peroleh, tetapi saya merasa selucu itukah perjuangan saya menjadi honorer sampai seorang honorer tidak diperkenankan lewat jalan yang nyatanya dilewati siapa saja bahkan siswa-siswi yang hendak naik angkutan umum pulang. Bahkan saat dikira marah pun, orang tidak peduli sebab hanya seorang honorer.
Jangan salah, apakah setelah terbebas dari status sebagai honorer tidak menerima tawa?
Oh, tidak berhenti sampai di situ.
Sewaktu saya lolos tes CPNS jalur tes secara online/ Computer Assisted Test (CAT), tawa dari orang lain masih berdengung di telinga.
Waktu itu saya mendapat formasi tugas di pesisir pulau. Di mana untuk menjangkaunya saja harus menumpangi perahu mesin dari kota kabupaten. Otomatis mengharuskan saya untuk tinggal di pesisir yang kala itu minim listrik dan susah sinyal internet.
Sewaktu libur kerja, saya berkunjung di desa tempat keluarga tinggal. Di sanalah seseorang menertawai juang saya di tempat tugas,