Anda seorang guru? Tertu tergabung dalam berbagai grup WhatsApp terkait informasi pendidikan. Ada grup sekolah, grup informasi pendidikan kecamatan, grup informasi pendidikan kabupaten, grup MGMP, grup seangkatan CPNS dan banyak sekali grup pendidikan lainnya.
Bukan hanya saya, pasti rekan-rekan guru lain juga mengalami fenomena menumpuknya pesan WhatsApp grup yang berisi pesan berantai yang diteruskan berkali-kali sebagai syarat mengikuti pelatihan guru, diklat daring dan webinar. Penyelenggara biasanya memberi syarat kepada calon pendaftar pelatihan daring dengan mengirim tangkap layar bahwa telah membagikan informasi pelatihan tersebut ke grup-grup WhatsApp pendidikan. Tujuannya baik, agar lebih banyak lagi orang yang membaca informasi pelatihan dan turut mendaftar sebab dijanjikan mendapat sertifikat.
Telah diketahui secara umum bahwa sertifikat berperan penting sebagai alat bukti bahwa telah mengikuti pelatihan atau webinar tersebut. Sertifikat juga berperan penting bagi seorang guru dalam menginput administrasi pengelolaan kinerja.
Guru memang wajib berinovasi dan memperbaharui pengetahuan. Pengetahuan tidak pernah berhenti dan zaman yang tidak berhenti berkembang. Itu sebabnya seorang guru perlu upgrade diri dalam bidang keilmuannya, salah satu caranya yaitu mengikuti pelatihan-pelatihan yang terkait latar belakang profesi.
Seminar atau pelatihan daring mempermudah peserta atau para guru untuk mengikutinya. Hanya dengan masuk ruang virtual zoom atau google meet, ilmu yang bermanfaat dapat diraup. Apalagi untuk mengikuti kegiatan daring secara gratis. Parahnya biasanya penyelenggara menyediakan fasilitas live streaming di YouTube sehingga dapat diakses bagi peserta yang tidak mampu ditampung dalam ruang virtual zoom. Cara ini menimbulkan kecurangan bagi peserta yang hanya berburu sertifikat. Tanpa menonton live streaming sampai selesai, mereka dapat mengakses tautan presensi dan menyatakan dirinya hadir. Ribuan penonton di Youtube tidak dapat diidentifikasi satu persatu peserta mana saja yang menyaksikan materi pelatihan hingga tuntas.
Kuantitas sertifikat tanpa kualitas implementasi
Oknum guru berlomba-lomba mendaftar berbagai pelatihan guru yang menjanjikan sertifikat dan gratis tersebut demi menumpuk validasi yaitu setifikat pelatihan. Di mana sertifikat dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan administasi pendidikan sebagai bukti bahwa guru tersebut berinovasi dan memperbaharui pengetahuan.
Menumpuk banyak sertifikat tanpa mengikuti pelatihan secara intensif telah menjadi fenomena yang diwajarkan. Jika penyelenggara membatasi peserta hanya dalam ruang virtual zoom saja dan harus on cam selama pelatihan, dapat diakui kredibilitas sertifikat tersebut. Tetapi, jika penyelenggaran tidak membatasi jumlah peserta pelatihan, dan peserta yang tidak dapat masuk ruang virtual malah diminta untuk mengakses tautan live streaming di YouTube, tentu peserta ini tidak dapat di-handle dengan baik. Tidak ada bukti peserta menyaksikan dengan benar, sebab bisa saja perangkat peserta mengakses live streaming YouTube tetapi pesertanya sendiri malah tidur atau mengerjakan pekerjaan lainnya.
Beberapa penyelenggara memberi syarat kepada peserta untuk melakukan post test setelah kegiatan virtual selesai. Post test itu diselesaikan untuk dapat mengklaim sertifikat. Tetapi, soal post test yang diakses melelui google form itu tidak juga dapat dikatakan efektif. Peserta dengan mudah menyalin soal dan menempelnya di kolom pencarian google. Jawaban dapat dilihat dan terpampang nyata. Apa sulitnya?
Kalau boleh saran, alangkah baiknya post test itu berupa pengumpulan artikel dari keseluruhan materi kegiatan. Artikelnya juga dinilai dengan fitur plagiarism agar peserta tidak hanya salin tempel dari google. Post test juga dapat berupa video aksi nyata (implementasi) dari materi. Setelah itu barulah peserta dapat menerima penghargaan berupa sertifikat.
Jika seminarnya saja tidak diikuti dengan maksimal atau bahkan tidak diikuti sama sekali, hanya isi presensi dan post test, maka bagaimana caranya peserta mengimplementasikan isi materi pelatihan tersebut? Apa tujuannya mengikuti seminar? Mendapat ilmu untuk berinovasi di sekolah yang objek penerima inovasi tersebut adalah siswa, atau hanya untuk selembar sertifikat demi administrasi mengelola kinerja.
Mengapa kuantitas peserta lebih penting daripada kualitas pengetahuan baru yang didapat oleh peserta seminar daring tersebut? Jatuhnya dapat diistilahkan "teruskan pesan dahulu, dapat sertifikat kemudian".
Bukan agen perubahan tetapi agen kolektor sertifikat
Guru yang bijak, hanya akan mengikuti pelatihan daring sesuai dengan kebutuhan dan memiliki keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan ilmu yang telah didapat di lingkup sekolah. Bukan guru yang hanya menumpuk sertifikat dan bahkan tidak mengikuti pelatihan daring dengan maksimal.
Mungkin menumpuk sertifikat memang menguntungkan untuk kredit kinerja guru, tetapi perlu diimbangi dengan implementasi yang berimbas di sekolah atau kelas. Tujuan pelatihan yang sesungguhnya adalah bagaimana guru menerapkan pemahamannya kepada sasaran yaitu siswa.
Jika kasusnya oknum guru hanya bertujuan mengoleksi sertifikat demi administrasi kelola kinerja belaka, tentu ilmu dari materi pelatihan tidak berimbas kepada sasaran. Â Jika seperti ini, pelatihan hanyalah ajang berbondong-bondong mengoleksi sertifikat. Fokus guru berubah, bukan sebagai agen perubahan, tetapi sebagai agen kolektor sertifikat.
Bisnis sertifikat
Beberapa penyelenggara pelatihan menawarkan pelatihan gratis. Hanya dengan syarat follow beberapa akun penyelenggara dan sponsor, juga meneruskan informasi pelatihan ke beberapa grup WhatsApp saja. Tetapi untuk menebus sertifikat, peserta diminta untuk membayar sejumlah uang. Tidak banyak nominal uang yang diminta, hanya sekitar puluhan ribu saja. Coba kalkulasi jika puluhan ribu dikali ratusan hingga ribuan peserta. Jumlah sebanyak itu hanya untuk menebus sertifikat dengan format PDF.
Tidak semua penyelenggara meminta uang tebusan untuk sertifikat peserta. Tetapi tahukah bahwa mereka telah merekam informasi identitas pribadi peserta sewaktu pendaftaran. Dari nama, instansi kerja, nomor HP dan lain-lain. Mereka leluasa untuk menjual data pribadi tersebut. Tidak khawatirkah? Jangan heran jika tiba-tiba ada nomor asing yang menelpon dan mengenali nama Anda serta instansi kerja Anda dan informasi lainnya.Â
Yang lebih parah lagi, ada agen jual beli sertifikat di dunia maya. Harga yang ditawarkan murah meriah. Dengan 100.000 rupiah saja dapat 3 sampai 5 sertifikat tanpa pelatihan apapun. Sungguh fenomena yang mengerikan.
Sebagai seorang guru yang memang membutuhkan sertifikat sebagai validasi bahwa pernah upgrade ilmu/diri. Maka perlu sebijak mungkin dalam memilih pelatihan yang hendak diikuti.
- Pastikan penyelenggara adalah lembaga yang kredibel agar sertifikat yang diterbitkan memiliki nilai yang valid.
- Pastikan narasumber adalah orang yang ahli dan menguasai bidang dengan menilik CV miliknya.
- Mendaftar pelatihan daring sesuai kebutuhan dan kemampuan. Tidak mementingkan kuantitas tetapi kualitas.
- Ikuti pelatihan daring dari awal hingga selesai dengan tuntas.
- Ikuti pelatihan yang mengutamakan kehadiran di ruang virtual dengan peserta terbatas agar benar-benar terkontrol oleh penyelenggara.Â
- Implementasikan ilmu yang didapat kepada sasaran atau ditulis dan dibagikan agar ilmu tidak berhenti pada diri.
Semoga, Bapak/Ibu Guru lebih peduli lagi dan mendahulukan kualitas pelatihan dan sertifikat daripada kuantitas banyaknya sertifikat yang didapat. Imbangi antara bukti berinovasi dengan tindakan aksi nyata dalam implementasi kepada sasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H