Mohon tunggu...
Halima Maysaroh
Halima Maysaroh Mohon Tunggu... Guru - PNS at SMP PGRI Mako

Halima Maysaroh, S. Pd., Gr. IG/Threads: @hamays_official. Pseudonym: Ha Mays. The writer of Ekamatra Sajak, Asmaraloka Biru, Sang Kala, Priangga, Prima, Suaka Margacinta, Bhinneka Asa, Suryakanta Pulau Buru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Etika Menyampaikan Undangan

16 Oktober 2023   10:07 Diperbarui: 16 Oktober 2023   11:36 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendapatkan undangan dalam sebuah acara adalah sebuah kehormatan. Ini artinya penerima undangan adalah seseorang yang dianggap layak untuk menghadiri acara yang diselenggarakan.

Undangan itu bervariasi dari sifatnya, ada undangan resmi dan undangan tak resmi. Untuk undangan resmi biasanya dikeluarkan oleh lembaga atau instansi. 

Berhubung sifatnya resmi, biasanya undangan langsung ditujukan kepada penerima melalui utusan terpercaya dari lembaga. Sedangkan surat undangan tak resmi yaitu pada acara-acara pribadi seperti acara pernikahan, khitanan, wedding anniversary, ulang tahun dan lain sebagainya.

Di era digital seperti sekarang ini sudah umum menggunakan undangan daring berupa tautan yang dapat diakses melalui telepon pintar. Bahkan biasanya pada undangan daring tertera nomor rekening si pengirim undangan. Dengan tujuan jika orang yang diundang tidak dapat hadir, maka dapat menransfer sejumlah uang ke nomor rekening tersebut. Bisa dibilang makna menghadiri undangan dan memberi restu diambil alih oleh nomor rekening.

Walau fenomena undangan daring sudah sangat marak, tetapi jenis undangan konvensional masih luas digunakan apalagi di pedesaan. 

Di desa, tidak semua memiliki nomor kontak yang dapat diakses dengan internet. Sampai di tahun 2023 ini pun saya masih sering menerima undangan lisan dan cetak.

Biasanya undangan cetak diantarkan oleh seseorang yang menjadi utusan terpercaya oleh pemilik hajat. Kali ini saya akan mengulas beberapa pengalaman saya memperoleh undangan hajatan terkait etika menyampaikan undangan.

Undangan lisan

Tidak jarang undangan hajatan masih berupa undangan lisan. Beda lokasi beda pula penyampaian undangannya. Saya pernah tinggal di kota, untuk penyelenggara hajatan tetangga biasanya hanya disampaikan undangan secara lisan saja. 

Saya agak terkejut saat itu, pasalnya sang menyampai undangan hanya mengucap salam kemudian berdiri di pintu untuk menyampaikan niat undangan. 

Tanpa dipersilakan masuk terlebih dahulu, si penyampai undangan langsung menyatakan maksud dengan intonasi yang sangat cepat bahkan hampir berteriak. Bahkan si penyampai undangan tidak berdadan rapi, kadang hanya ibu-ibu berdaster dengan sendal jepit. Walau terkejut, saya tidak dapat menyalahkan hal itu. Mungkin memang sudah tradisinya begitu.

Beda lagi undangan lisan yang saya dapat ketika tinggal di batas kota. Waktu itu di desa Waeheru, Kota Ambon. Banyak pendudukannya berasal dari salah satu suku di Sulawesi. 

Saya sangat kagum dan mengapresiasi etika mereka. Biasanya memang perempuan/ ibu- ibu yang diminta untuk menyampaikan undangan. 

Jika diamanati untuk menyampaikan undangan, ibu-ibu tersebut berpakaian rapi, memakai hijab, menggunakan polesan makeup natural. Seorang wanita utusan penyampai undangan lisan itu akan mengucap salam, kemudian ketika dipersilakan masuk rumah maka akan masuk rumah dengan hormat. Setelah duduk dengan sikap sopan, maka niat mengundang barulah disampaikan dengan perlahan dan nada santun.

Pengalaman berbeda juga saya temukan di desa-desa di Pulau Buru terkait undangan lisan. Bukan perempuan tetapi para lelaki yang menjadi utusan undangan. Lelaki berpakaian rapi, menggunakan kopiah dan bersikap sopan. 

Setelah mengucapkan salam, dipersilakan masuk rumah, barulah mengutarakan niat untuk mengundang. Sebagai seseorang yang diundang, tentu merasa terhormat dan akan datang ke undangan dengan restu yang tulus.

Undangan cetak

Melayangkan undangan cetak juga butuh perantara. Biasanya yang mengirim bukanlah sang turut mengundang tetapi orang lain yang diutus. Mengingat undangan cetak itu lebih fleksibel maka tidak menutupi kemungkinan siapapun dapat mengirimnya.

Seharusnya mengirim undangan lisan maupun cetak itu sama saja etikanya karena konteksnya sama-sama menyampaikan amanah. Tetapi kenyataannya tidak sepenuhnya seperti itu. Walau pada umumnya penyampai undangan datang ke rumah-rumah dengan ramah, tetapi masih sering ditemukan pengantar undangan yang tidak sepantasnya.

Pengantar undangan anak-anak adalah fenomena yang pernah saya alami. Seorang anak dititipi undangan untuk dibawa ke sekolah dan disampaikan kepada gurunya sebagai orang yang diundang. 

Menurut opini pribadi, sudah bagus niat baik menghormati dengan mengundang tetapi menjadikan anak-anak sebagai perantara bukanlah etika mengundang yang baik. Alangkah baiknya mengutus orang dewasa untuk memastikan undangan sampai ke tangan orang yang diundang.

Rasanya kurang etis jika undangan yang sasarannya adalah cara menghormati orang lain justru diantar oleh anak-anak yang tidak seharusnya. Pastikan orang dewasa yang bertanggung jawab yang diberi amanah bentuk hormat tersebut.

Ternyata orang dewasa juga belum tentu amanah. Saya pernah mendengar salam seorang pria dewasa dari luar. Saya menjawab dan melangkah membuka pintu. Ternyata pria sumber suara tersebut sudah menyetarter sepeda motornya dan pergi. Kartu undangan tergeletak begitu saja di depan pintu rumah.

Rasanya bukan begitu etika menyampaikan amanah. Walau benar kartu undangan telah berada di depan pintu rumah, tetapi bagaimana jika tertiup angin? Bagaimana jika ditemukan orang lain? Bagaimana jika tidak sampai ke tujuan? Siapa yang salah? Siapa yang tidak amanah?

Terbaru, malah pagi-pagi saya menemukan kartu undangan yang diselipkan di bawah pintu ketika membuka pintu depan. Kapan kira-kira undangan itu diantar? Tengah malam ketika saya tidur? Apakah tidak ada waktu lagi, sampai harus diantar malam-malam dan diselipkan di kolong pintu? Saya pikir bahwa itu undangan dari jauh beda kota, sehingga pengantarnya secara darurat telah tiba di rumah saya malam hari dan terpaksa meletakkan di bawah pintu. 

Nyatanya tidak seperti itu, undangan terbaca dari warga masyarakat sekitar saja dan jangka waktunya masih lama. Sehingga diambil kesimpulan bahwa undangan itu masih bisa dibawa kembali di siang hari dan diserahkan ke penghuni rumah secara langsung.

Maka bukan hanya dibutuhkan orang dewasa tetapi juga orang yang benar-benar amanah untuk menyampaikan undangan. Kiranya dapat menjadi perhatian untuk orang-orang yang diberi amanah untuk menyampaikan undangan. Kasihan tuan yang memiliki hajat jika ada undangan yang tidak tepat sasaran bahkan tidak sampai ke tujuan.

Undangan itu ibarat memanggil untuk datang. Bagaimana jika Anda dipanggil oleh orang yang tidak memiliki etika yang baik? Apakah akan mendatangi panggilan tersebut? Yang kena imbas adalah tuan pengundang atau sang pemilik hajat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun