Desa identik dengan ketenangan, kesejukan, kepedulian dan keramahan. Dipikiran orang kota, desa adalah tempat yang nyaman untuk beristirahat dari segala penat di kota.Â
Tidak ada yang salah dengan pemahaman tersebut jika yang berpikir adalah orang kota yang bukan sehari-hari tinggal di desa. Atau bagi mereka yang hanya menjadikan desa sebagai tempat rahat dari kesibukan/liburan.
Sesungguhnya plus dan minus itu tetap beriringan mau tinggal di kota mau pun di desa. Pengalaman saya sendiri yang berasal dari desa dan merantau ke kota, tetapi berakhir tugas dan mengabdi kembali ke desa. Baik kota maupun desa tetap terasa poin plus dan minus. Tidak ada tempat yang 100% sempurna untuk ditinggali.
Jika Anda type individualis, mungkin tinggal di kota adalah pilihan yang tepat. Tetapi jika Anda penikmat sayur-mayur dan buah-buahan lokal dengan harga murah, tinggal di desa adalah surga yang nikmat.
Berikut akan diulas tentang beberapa hal yang harus orang kota ketahui sebelum memutuskan untuk tinggal dan menetap di desa. Butuh pertimbangan yang matang.
Berdagang kuliner lebih laris di kota
Ulasan tentang berdagang kuliner ini adalah pengalaman suami saya sendiri yang awalnya berprofesi sebagai pedagang makanan di Kota Ambon. Pada tahun 2019, terpaksa beliau harus ikut mengantar saya bertugas di pesisisir Pulau Buru.Â
Pesisir Pulau Buru beliau mencoba peruntungan berdagang makanan, tetapi hasilnya jauh dari usaha dan ekspektasi. Mengapa demikian?
Hanya bertahan beberapa hari, beliau meninggalkan saya bertugas dan pindah ke pedesaan menuju arah kota. di sana lebih mumpuni karena akses ke kota lebih mudah.
Di kota, dominan warganya adalah pegawai dan pengusaha. Bekerja dihimpit waktu dan cenderung tidak fleksibel. Mereka lebih konsumtif soal makanan yang dijual (siap santap).Â
Begitu pun dengan bahan makanan yang semua didapat dengan dibeli. Sedangkan di desa banyak masyarakatnya yang dapat menghasilkan bahan makanan sendiri, dari beras, sayur-mayur, buah-buahan dan lauk pauk. Dari situlah mereka lebih suka mengolah sendiri hasil bertani dari pada membeli makanan siap santap.
Bukan berarti di desa tidak ada warung makan, tetapi omsetnya tidak setinggi di kota. Untuk di desa dipinggiran kota, mungkin masih lumayan untuk membuka usaha warung makan, tetapi untuk desa yang pelosok dan kaya akan bahan makanan dari alam, usaha warung makan tidak direkomendasikan. Â Mereka memilih masak sendiri dari bahan makanan yang mereka hasilkan daripada jajan di warung.
Di desa ruang gerak sempit
Keramahan masyarakat di desa tidak diragukan lagi. Mereka ramah dan peduli. Terbukti dengan saling sapa di setiap lorong, hampir seluruh penduduk sedesa saling mengenal. Kepedulian juga terbukti dengan segala pembangunan dilakukan gotong-royong dan saling membahu.
Namun, untuk Anda orang kota yang lebih menyukai privasi terjaga dan invidualis, sepertinya berdomisili di desa akan menjadi pertimbangan yang berat. Soalnya, berita di desa lebih cepat bergulir daripada berita di sosial media.
Jika di kota Anda menemukan hanya sosialita yang memiliki waktu luang untuk nongkrong dan arisan, rakyat jelatanya sibuk mencari makan.Â
Tetapi di desa tak harus menjadi sosialita untuk kumpul-kumpul dan membicarakan gosip hangat. Sore hari di teras rumah, bawah pohon, pelataran rumah dapat dijadikan tempat nongrong asyik.
Saya pernah tinggal dikota, pulang kerja magrib, bangun rumah kecil, dan segala polah saya yang tidak pernah digubris oleh tetangga. Mereka tidak peduli dengan pekerjaan saya, rumah saya dan apapun tingkah saya.Â
Sedangkan saat saya mutasi dan berdomisili di desa, saya pernah ditanyai mengapa pulang mengajar lebih dari jadwal pulang siswa, mengapa bangun rumah kecil, ditanya berapa gaji seorang guru, yang menurut saya itu rasa peduli berlebih sehingga menimbulkan rasa risih.
Sehingga saya merasa ruang gerak di desa sempit, pergerakkan diamati orang sekitar yang sangat peduli dan peka terhadap situasi.Â
Sedangkan di kota, warganya banyak menganut paham idividualisme. Orang sekitar pulang jam berapa, berapa gajinya, beli baju di mana, itu semua tidak akan menjadi bahan perhatian.
Ketika di desa, pandai-pandailah berbaur, tetapi perlu bijak juga. Saling sapa dan gotong royong sangat terjaga. Jangan sampai terlalu tertutup hingga dikira anti sosial.
Biaya makan dan tempat tinggal lebih rendah sehingga dapat menabung lebih
Untuk pecinta sayuran, buah-buahan seperti saya, tinggal di desa adalah surga. Harga sayur dan buah di desa jauh lebih murah di desa. Sayur dan buahnya juga lebih segar, dan belum diawetkan. Jika beruntung, dapat membeli sayuran langsung di ladang/kebun dari petaninya.
Bukan hanya soal buah dan sayur, harga beras lokal juga sedikit lebih terjangkau. Jika dekat dengan wilayah perairan/laut, harga ikan juga lebih murah. Ikan-ikan segar, belum masuk freezer.
Dengan biaya makan yang lebih murah, uang sisa dapat ditabung untuk kebutuhan yang lebih besar lagi. Jika tidak memasak, hanya dengan 5.000 rupiah sudah dapat nasi kuning sebungkus. Bahkan ada yang lebih murah dari itu.
Jika pandai-pandai menabung, uang makan yang lebih hemat daripada di kota itu dapat dikumpulkan dan diperuntukkan untuk kebutuhan skunder dan lux. Makan tetap enak, dengan bahan lebih segar dan harga lebih murah.
Tempat tinggal juga lebih murah harganya daripada di kota. Di desa masih ada harga rumah sederhana mulai dari 100 juta saja.Â
Jika mau yang lebih sederhana, ada kok yang dibawah 100 juta. Harga kamar kos juga lebih murah dari pada harga kamar kos di kota. Jadi masih sangat terjangkau harga tempat tinggal di desa.
Demikian plus dan minus yang harus diketahui orang kota sebelum tinggal di desa. Jangan sampai buru-buru pindah ke desa dan bingung dengan kondisinya dan bertanya-tanya, "Emang boleh sedesa itu?" Semoga bermanfaat. Terima kasih
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI