Saya memutuskan untuk mengenakan gamis putih yang masih bersih dan warnanya masih tampak baru. Gamis putih tersebut terdapat aksen pita dibagian pinggang dan broklat di bagian dada. Jadi masih bisa tampak cantik tanpa mengeluarkan budget sewa kebaya.
Bukan berarti saya tidak ingin wisuda mengenakan kebaya, tetapi saat itu memang kemampuan saya masih belum mumpuni. Jika saya berkesempatan untuk wisuda lagi, insya Allah saya akan membeli kebaya baru atau mengenakan kebaya yang sudah saya miliki saat ini. Â Â
Tanpa Didamping Keluarga
Saya menempuh Pendidikan di Universitas Pattimura, Ambon. Sedangkan orang tua saya tinggal di Pulau Buru. Membutuhkan waktu delapan jam perjalanan menggunakan kapal.
Kebetulan saat itu sedang musim ombak tinggi di lautan. Bapak saya juga tidak begitu kuat untuk menempuh perjalanan itu. Bapak mudah mabuk kendaraan, apalagi kendaraan laut. Cemas Bapak sakit jika nekad ke Ambon, saya memutuskan untuk tidak didampingi orang tua.
Saat tiba di auditorium kampus, banyak wisudawan yang didampingi keluarga bahkan sampai bermobil-mobil pasukan pengantar. Saya menghela napas ikhlas. Â
Tanpa Hajatan
Perayaan wisuda di kampus rasanya belum cukup. Hajatan di rumah saat wisuda sudah menjadi tradisi di sekitar saya. Bahkan ada yang mengadakan pesta tiga hari tiga malam.
Saya sama sekali tidak mengadakan hajatan mengundang teman-teman atau berpesta. Saya hanya bersyukur dan berharap ilmu yang saya dapat dari universitas bermanfaat dengan memiliki perkerjaan yang layak.
Begitulah kisah perayaan wisuda saya yang sederhana dan sangat hemat dana. Tidak saya sesali karena di situlah kemampuan saya. Berharap akan wisuda kembali agar dapat mengenakan apa-apa yang diinginkan dalam perayaan. Intinya, bukan seberapa mewah perayaannya, tetapi seberapa saya berguna setelah wisuda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H