Pada umumnya, jalan-jalan adalah salah satu alternatif untuk menghilangkan stres dan penat terhadap kegiatan sehari-hari yang wajib kita lakukan, seperti kuliah.Â
Anak zaman sekarang menyebutnya healing. Hampir setiap hari, lima hari dalam seminggu disibukkan dengan kuliah. Belum lagi tugas-tugas yang diberikan oleh dosen membuat Sabtu dan Minggu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.Â
Maka dari itu salah satu temanku mengajakku menginap di rumahnya, kebetulan temanku yang satunya lagi pulang kampung. Aku tidak bisa pulang kampung karena baru pulang dua minggu yang lalu.
"Ayo, Ila. Ke rumahku saja. Aku jamin kamu tidak akan menyesal dan bersenang-senang," ajaknya dengan wajah sumringah yang sangat meyakinkan.
Aku yang terpengaruh oleh ekspresinya itu mengangguk mengiyakan dengan tak kalah semangat. Rumah temanku berada di Pantai Air Manis. Terakhir kali aku ke sana waktu libur panjang peralihan dari SD ke SMP, sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Waktu itu aku dan keluargaku benar-benar mengunjungi pantainya, bertemu dengan batu Malin Kundang yang selalu membuatku penasaran.
"Tidak, aku tidak akan membawamu ke Pantai Air Manis," ujarnya.
"Lalu ke mana?" tanyaku.
"Lihat saja nanti," balasnya sambil tersenyum mencurigakan.
Kala itu aku hanya mendengus, tidak ada pilihan lain selain mencibirnya. Waktu terus berlalu hingga tiba hari Jum'at (27/10/2023), saatnya bersenang-senang!
Sehabis kuliah Kajian Prosa (09:20-11:50), aku dan teman-temanku langsung berkumpul di kosan salah satu temanku. Di sana kami berunding sekaligus berpamitan kepada teman yang akan pulang kampung. Setelah berunding, cipika-cipiki, dan dadah-dadah, aku dan temanku satunya lagi pergi ke kosanku untuk mengambil baju ganti dan beberapa keperluan pribadi. Tepat pukul 15:00, kami berangkat menuju tempat pertama, bioskop!
Kami sudah lama merencanakan untuk menonton film bersama, karena temanku satunya pulang kampung, jadi kali ini aku berdua dulu dengannya. Kami menonton film yang lama aku nanti-nantikan semenjak posternya keluar, Saranjana Kota Ghaib dengan genre horror-adventure. Film dimulai pada pukul setengah lima. Kami menonton dengan khidmat, sesekali terkejut karena tiba-tiba muncul pocong dan backsound-nya yang menggelegar, tercengang, geram, bahkan terharu.
Balik dari bioskop pukul setengah tujuh malam, kami berkeliling kota Padang sambil menuju jalan pulang, Pantai Air Manis. Sebelum itu, kami singgah dulu ke Masjid Al-Hakim di Taplau. Ini untuk kedua kalinya aku ke sana dan masuk ke dalamnya. Masjid yang kamar mandinya membuatku terpukau karena sangat bersih dan tidak bau, begitupun mukenanya, harum dan banyak.Â
Setelah menyelesaikan segala urusan di Masjid, kami berencana membeli sate untuk makan malam. Belinya tidak jauh-jauh, kebetulan ada di depan gerbang masuk masjid, jadi yang itu saja. Aku sempat menahan malu karena kakiku tidak sengaja menyenggol gerobak satenya. Temanku meletakkan motornya terlalu dekat dengan gerobak.
"Maaf, ya. Anggap aja ga pernah terjadi," ujarnya sambil tertawa yang aku balas dengan tabokan di lengannya.
Pukul delapan kami langsung pulang. Melewati Jembatan Siti Nurbaya yang begitu indah dengan lampu kelap-kelipnya, Seberang Padang, lalu memasuki kawasan Pantai Air Manis.Â
Sebenarnya banyak tempat yang kami lalui, tapi karena hari sudah malam dan gelap, jadi tidak terlalu kelihatan. Perjalanan menuju rumah temanku begitu menguji iman.Â
Dari yang awalnya melewati kafe-kafe dan disuguhkan dengan pemandangan laut hitam, sampai jalanan sepi yang kiri kanannya hutan. Terlebih ketika melewati kuburan. Temanku sudah menahan takut, tapi aku justru bersenandung asal.
"Ila, kamu tahu tidak kenapa aku membawa motorku sedikit kencang tadi?" tanyanya.
"Huh? Kenapa?" tanyaku balik.
"Di sana ada kuburan," bisiknya.
Aku yang mendengar itu spontan melihat ke belakang, tapi lagi-lagi tidak melihat apa-apa karena gelap. Temanku justru memekik menegurku karena ketakutan lalu motornya langsung di gas lebih kencang. Aku tidak begitu takut sebenarnya, malah aku tertawa keras. Ketika sudah memasuki daerah Pantai Air Manis, aku dibuat takjub dan merasa deja vu. Aku jadi mengingat kampung halamanku.
Sampai di rumahnya yang tidak jauh dari gerbang masuk ke Pantai Air Manis, kami disambut oleh Mama temanku dengan hangat. Aku langsung menyalami Mama temanku lalu beliau menyuruhku masuk dan langsung beristirahat. Tapi, sebelum itu temanku mengatakan sesuatu yang membuatku jingkrak-jingkrak kesenangan.
"Selama kamu di rumahku, kamu adalah raja. Jadi, puas-puasin aja selama di sini. Dan besok aku bakal ngajak kamu jalan-jalan."
Besok paginya (Sabtu, 28/10/2023), rencana awalnya adalah memulai tur pukul sembilan, jam delapan justru kami baru bangun. Mandi masing-masing setengah jam, milih baju, dandan, tau-tau udah jam 11. Alhasil kami mulai berangkat pukul setengah 12.
"Ga kita namanya kalau ga ngaret," kataku bercanda.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Taman Budaya, katanya ada pameran di sana dan hari itu hari terakhir. Tapi, waktu kami sampai belum ada apa-apa, tidak ada siapa-siapa. Hanya kami berdua layaknya orang sedang uji nyali di siang hari.
"Beneran masih ada kan?" tanyanya.
"Mana aku tau, kan kamu yang ngajak," jawabku heran.
Lalu temanku kalang kabut membuka Instagram pameran tersebut. Dan benar, hari itu seharusnya masih ada. Kami menyimpulkan dengan tetap berpikir positif, mungkin belum mulai.
"Ya udah, ke tempat lain dulu, yuk," ajaknya.
"Ke mana?" tanyaku.
"Gramedia!"
Percayalah kalau saat itu aku sungguh kesenangan, tersenyum terus selama di perjalanan, dan sampai di Gramedia aku kegirangan, tapi tertahan. Ingin lompat-lompat sambil guling-guling bahkan salto, tapi masih ingat punya malu.Â
Setelah berbulan-bulan mengidamkan ke Gramedia, akhirnya keinginanku tercapai juga. Terakhir kali aku ke Gramedia waktu semester satu, sedangkan sekarang aku semester tiga. Itu pun dulu aku hanya melihat-lihat, tidak tahu mau membeli apa, selain itu harganya lumayan mahal. Tapi, sekarang meski harganya mahal, karena aku sudah ada keinginan untuk membeli buku, alhasil aku membawa tiga buah buku baru pulang.
"Katanya cuma beli satu buku. Katanya minimal beli budgetnya 100 ribu. Tapi, ini? Tiga ratus ribu!"
Aku dan temanku sempat galau dan terdiam lantaran duit habis dalam sekejap, tapi melihat paper bag yang penuh karena buku-buku impianku, aku tidak jadi galau meski dompetku meraung-raung. Untuk mengembalikan tenaga, kami memilih makan ke KFC di Ramayana.Â
Waktu itu tidak terlalu ramai, jadi tidak perlu ngantri panjang-panjang dan langsung dapat tempat duduk. Kami makan dengan khidmat, sesekali menatap sekitar dan tersenyum seperti orang gila kala melihat cowok-cowok ganteng, dan tersenyum pedih tatkala melihat keluarga kecil tengah merayakan ulang tahun, tidak tahu siapa.
"Aku ikut bahagia melihat mereka bahagia," kataku kala itu.
Setelah makan, rasanya energi kami belum sepenuhnya kembali. Masih sedikit lesu, loyo, dan teringat duit 300 ribu tadi. Maka dari itu, temanku mengajak untuk makan es krim. Es krim kesukaan kami, Goks! Hari itu cuacanya begitu panas, terlebih kami berada di seberang Taplau. Jadilah kami menikmati es krim sambil duduk di depan ruko, entah punya siapa, yang tutup. Plus pakai helm seperti gembel.
"Tidak apa-apa, selagi aku ga sendiri yang dikira gila. Gas aja," celetuk temanku.
Kami menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk makan es krim. Sebelumnya kami menyempatkan untuk deep talk sejenak, dari sanalah aku bisa memetik hikmah bahwa kita semua memiliki porsi masalah yang berbeda-beda, alasan yang berbeda-beda, sebab yang berbeda-beda, tema yang berbeda-beda, alur yang berbeda-beda. Tapi, aku bangga padanya karena telah melewati semua hal berat itu.
Sekitar pukul empat sore, temanku mengajakku ke pantai. Bukan Pantai Air Manis, melainkan Pantai Pasir Putih. Jalan menuju pantainya begitu terjal. Setelah memarkir motor, kami harus turun menggunakan tangga yang dibuat dengan bahan seadanya seperti ban karet dan batu. Tapi, setelah sampai di pantainya, rasanya semua rasa yang menyesakkan dada sirna begitu saja. Bisa dibilang tidak terlalu banyak orang, tapi kami tidak mendapat tempat duduk yang nyaman. Alhasil kami duduk di batu besar dekat dengan bibir pantai.
"Waktu kecil aku sering main ke sini. Dulu itu namanya Pulau Buaya dan itu Pulau Kura-kura. Kisahnya buaya memakan kepala kura-kura dan kura-kura memakan ekor buaya. Makanya ekor buayanya ga ada dan kepala kura-kuranya ga ada."
"Kalau airnya lagi pasang, ada jalan menuju ke pulau kura-kura. Bulan lalu ada yang meninggal setelah balik dari sana. Kata orang-orang dia kemasukan karena asal duduk."
Aku memerhatikan dengan seksama pulau yang temanku maksud. Sepersekian detik berpikir, akhirnya aku paham. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak jingkrak-jingkrak karena begitu ... Waw! Kami bermain dengan sedikit tidak puas di sana, sebab hujan tiba-tiba muncul. Tidak lebat, tapi keras. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang.
"Gagal sudah aku melihat sunset untuk kesekian kalinya," ujarku.
Tapi, aku tidak kesal. Aku hanya merasa sedikit prihatin pada diriku sendiri. Tapi, tidak masalah. Hari itu aku lalui dengan begitu bahagia. Pergi ke tempat-tempat yang baru sekali dan belum pernah aku kunjungi seumur hidupku. Meski tempatnya sudah tidak asing lagi dan lumrah disebut orang-orang, bahkan terkesan biasa saja, tapi bagiku tidak.
Percayalah, hari itu adalah hari bebasku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H