Mohon tunggu...
Aulia Aziz Salsabilla
Aulia Aziz Salsabilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia di UPI Bandung

Senang dengan menulis, membaca, marketing, dan kamu. Salam kenal!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ikan adalah Pertapa: Beragam Kontemplasi Alam dan Metafora Liarnya

20 Juni 2023   21:07 Diperbarui: 20 Juni 2023   21:12 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Gramedia Digital

Judul Buku: Ikan adalah Pertapa

Penulis: Ko Hyeong Ryeol

Penerjemah: Kim Young Soo, Nenden Lilis Aisyah

Tahun Terbit: 2023

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Tebal: xxiii + 259 hlm

Dua kata yang kiranya cocok dalam pancaran buku ini adalah realis dan imajinatif. Permainan-permainan diksi yang mengoyak gambaran dan cerminan alam dalam puisi ini sungguh liar, dinamis, dan berbelok-belok. Setiap unsur lapisan terdalam digurat habis-habis oleh Ko Hyeong Ryeol untuk menekankan kualitas dan kekayaannya dalam berkata-kata. Ko Hyeong banyak memancarkan curhatan perasaan yang direfleksikan kepada alam sekitar sebagai titik balik spiritualitasnya. 

Barangkali gaya kepenulisan yang imajinatif itu memang menjadi ciri khas Ko Hyeong untuk menguatkan moralitas tertentu yang ia hubungkan melalui daya magisnya. Imaji dan personifikasi yang dilakukan Ko Hyeong juga tergambar melalui garis besar penceritaannya terhadap kehidupan dunia yang penuh penderitaan, tetapi di balik itu muncul pula secercah harapan. Hal ini terbukti karena kepiawaian Ko Hyeong dalam kepenulisan sastra yang telah melahap beragam penghargaan, di antaranya Jihun Literature Award (2003), Ilyeon Literature Award, Baeksok Literature Prize, Republics of Korea Culture and Arts Award (2006), serta Sastra Kontemporer Hyundae Munhak (2009). 

Penulis berdarah Korea ini begitu banyak memotretkan nilai dan budaya Negeri Ginseng yang juga menjadi kunci pembuka terhadap bunyi dan muatan puisinya. Kata dan diksi dalam karyanya tak lekang dari peminjaman nama daerah, budaya, lingkungan alam, dan politik pada negeri Macan Asia Timur sebagai bentuk kognisi atas pengalaman hidupnya. Hal itulah yang menjadi daya kekuatan pengarang sebagai simbol sosiologis yang direfleksikan melalui puisi-puisinya. Karya-karya kreatifnya tersebar ke dalam beberapa antologi puisi Perkebunan Semangka Puncak Daechong (1985), kumpulan puisi ekologi lingkungan alam Bagaimana Kabarnya Kota Seoul, kumpulan puisi Pagi Hari ini, Melintasi Tubuh Kristal di Jepang, dan lainnya. 

Ikan adalah Pertapa merupakan salah satu karya antologi puisi dwibahasa antara bahasa Indonesia-Korea. Sehimpun puisi ini diseleksi dari antologi puisi berbahasa Korea yang berjudul "Pada Saat Merenung Hal-hal yang Kuno" di tahun 2020. Puisi-puisi realis ini merenungi serba-serbi pengalaman kehidupan yang dibarengi oleh campur tangan alam, politik, sosial-budaya yang terbagi menjadi 4 bagian dengan total 60 puisi pilihan. Tiap-tiap bagiannya mempunyai unsur dan karakteristik yang dibawa oleh gagasan Ko Hyeong dengan bantuan sang kunci penerjemah, Kim Youn Soo dan Nenden Lilis Aisyah. 

Secara tematik, Ko Hyeong banyak menghubungkan tanda-tanda pada alam dan kondisi sekitar sebagai representasi imajinya sehingga baris demi baris puisinya tampak mengupayakan connecting the dots yang sedang merajut untaian peristiwa kehidupan yang pergerakannya begitu lihai. /Apabila semua pembuluh darah kembali/ /tampaknya batu akan melayang di langit// ("Awan Putih dan Rumput", Ryeol, hlm. 8). Diksi-diksinya sarat terhadap hal semiotis. Hyeong memanfaatkan diksi pembuluh darah sebagai hal fundamental pada sistem tubuh manusia, lalu melanjutkan belokan imajinya pada pengandaian eksistensi batu yang melambung di langit.

...

Pertama-tama aronia muncul di depan mata

Aronia

Mengapa kau tidak membawakan air

Daun ketiga telah mekar

...

("Dapatkah menjadi Ibu untuk Aronia Berry", Ryeol, hlm. 128)

Pun dalam bunyi-bunyi yang dituangkan Ko Hyeong tampak begitu merdu, murni, dan tenang sehingga turut membuat pembaca menikmati betul-betul kandungan puisinya. Ko Hyeong tak sedikit menciptakan bunyi puisinya yang kerap disebut sebagai bunyi efoni ini berhasil meninggalkan bekas ataupun jejak kehangatan di benak pembaca. Meski demikian, bunyi kakafoni atau bunyi tak merdu pun dapat kita temukan pada bagian lain. Lebih dari itu, pembaca dibuat penuh pesona atas bayang-bayang imaji bebasnya yang akhirnya mengundang jalan untuk kita berkontemplasi.

Sewaktu bayi, aku selalu tidur bersama Ibu

Saat remaja, aku tidur bersama nenek yang tinggal menyendiri

Di kala bujang, aku tidur sendirian

Setelah menikah

aku selalu tidur bersama istri

Aku bukannya tidak pernah tidur dengan buku di tangan

Tapi tertidur adalah pinjaman sejenak dari sela-sela suatu waktu

... 

("Di Dalam Suatu Waktu yang Sama Sekali Tidak Sedih", Ryeol, hlm. 152)

Interpretasi puisi ini menghadirkan bahwa pekerjaan tidur dengan siapa dan bagaimana rasanya jarang sekali kita usik dan pertanyakan, mulai dari kecil hingga dewasa. Pekerjaan tidur normal kita anggap sebagai bentuk melepas penat, tempat istirahat, atau bahkan tempat untuk pulang sebagai rumah sejatinya. 

Buku Ikan adalah Pertapa tak hanya menyajikan persoalan puisi, Ko Hyeong juga melampirkan sebuah prosa di bagian akhir sebagai representasi peran penciptaan dan eksistensi puisinya. Ia mempertanyakan eksistensi puisi dalam sebuah kehidupan, bahwa katanya puisi tidak dapat dihindarkan dari dunia, moralitas, dan formalitas (Ryeol, 2023, hlm. 204). 

Kemurnian dan kerendahan hati Ko Hyeong terlihat sangat mendominasi dalam puisi-puisinya sehingga menambah estetika baru terhadap dunia kesusastraan, tak hanya Korea, melainkan juga Indonesia. Pengarang dan penyair masa kini perlu lebih berani dalam mengeksplorasi segala hal untuk memperdalam dan memperkaya khazanah imaji batin pembaca. Segala hal itu barangkali dapat mencakup beberapa hal, baik itu revolusi kognitif, pengamatan sekitar, maupun kepekaan kita terhadap realita sosial.

Pada akhirnya, buku antologi puisi Ikan adalah Pertapa akan menambah kekayaan khazanah akan wawasan yang sarat dengan gejolak batin alam, sosial-budaya, hingga ketengangan politik di Negeri Ginseng sana. Pesan dan moralitas yang dibawa Ko Hyeong melalui puisinya tidak hanya sekadar untuk kudapan estetika semata bagi rakyat Korea saja, melainkan sebagai bahan renungan untuk kita semua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun