("Di Dalam Suatu Waktu yang Sama Sekali Tidak Sedih", Ryeol, hlm. 152)
Interpretasi puisi ini menghadirkan bahwa pekerjaan tidur dengan siapa dan bagaimana rasanya jarang sekali kita usik dan pertanyakan, mulai dari kecil hingga dewasa. Pekerjaan tidur normal kita anggap sebagai bentuk melepas penat, tempat istirahat, atau bahkan tempat untuk pulang sebagai rumah sejatinya.Â
Buku Ikan adalah Pertapa tak hanya menyajikan persoalan puisi, Ko Hyeong juga melampirkan sebuah prosa di bagian akhir sebagai representasi peran penciptaan dan eksistensi puisinya. Ia mempertanyakan eksistensi puisi dalam sebuah kehidupan, bahwa katanya puisi tidak dapat dihindarkan dari dunia, moralitas, dan formalitas (Ryeol, 2023, hlm. 204).Â
Kemurnian dan kerendahan hati Ko Hyeong terlihat sangat mendominasi dalam puisi-puisinya sehingga menambah estetika baru terhadap dunia kesusastraan, tak hanya Korea, melainkan juga Indonesia. Pengarang dan penyair masa kini perlu lebih berani dalam mengeksplorasi segala hal untuk memperdalam dan memperkaya khazanah imaji batin pembaca. Segala hal itu barangkali dapat mencakup beberapa hal, baik itu revolusi kognitif, pengamatan sekitar, maupun kepekaan kita terhadap realita sosial.
Pada akhirnya, buku antologi puisi Ikan adalah Pertapa akan menambah kekayaan khazanah akan wawasan yang sarat dengan gejolak batin alam, sosial-budaya, hingga ketengangan politik di Negeri Ginseng sana. Pesan dan moralitas yang dibawa Ko Hyeong melalui puisinya tidak hanya sekadar untuk kudapan estetika semata bagi rakyat Korea saja, melainkan sebagai bahan renungan untuk kita semua.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H