Mohon tunggu...
Halis Idris
Halis Idris Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Bodoh II

25 Februari 2018   11:25 Diperbarui: 25 Februari 2018   11:54 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut pemahamanku, lelaki itu cukup baik.  Tapi aku tidak suka akan kebiasaannya yang menyamaratakan semua orang ditemuinya.  Bagaimanapun setiap orang berbeda.  Aku misalnya,  sangat suka akan kepandaiannya berbicara,  kebijaksanaannya dalam menyelesaikan masalah di dalam diskusi-diskusi dan juga keramahannya kepada siapapun.  Hanya saja,  aku tidak suka jika dia menyamakanku dengan orang lain. Di berpikir aku bisa di ajaknya kemana saja yang dia mau.  Aku lebih suka membaca buku di rumah atau di perpustakaan daripada keluyuran entah kemana.  Katanya untuk menikmati alam yang luas.  Dari buku-buku,  aku bisa melakukannya. 

Aku tahu bagaimana nikmatnya, berada di puncak gunung dalam buku 5 cm.  Aku juga paham akan sulitnya medan serta keindahan alam yang di ceritakan sangat apik dalam novel itu. Dan plusnya,  keindahan dari kata dan bahasa yang menjadi alat dari menyampaikan segala keindahan itu. Pesan-pesan moral dan komedi yang di hadirkan dalam novel,  sangat bisa membuatku untuk berlama-lama membaca. Mungkin karena sudah terlalu biasa buatnya untuk melakukan itu.  Tapi,  bagiku itu adalah sikap yang sangat kekanak-kanakan.  Kita sudah duduk di bangku perkuliahan. Harusnya kita lebih peka pada apa yang orang lain rasakan dan gemari.

Kita harus menghargai privasi setiap orang. Kalau di ajak berbicara aku sangat suka.  Apa lagi berbicara tentang sastra dan buku-buku. Dia sendiri tidak pernah mengerti untuk mengajakku untuk membicarakan hal itu.  Setidaknya aku akan lebih nyaman padanya. Akhir-akhir ini aku menjauh darinya. Aku tidak ingin lagi,  membicarakan apapun tentang cinta ataupun tentang hidup yang membosankan yang pernah di laluinya. Hampir,  setiap pembicaraanku dengannya.  Dia selalu membicarakan tentang mimpi dan kerasnya perjuangan yang telah di laluinya untuk mencapai mimpinya itu.  Ha... Dia tidak berbeda dengan yang lainnya.

Katanya "berpikir lebih jauh kedepan. Memiliki mimpi berarti memiliki masa depan.". Ataukah mereka hanya tidak sadar bahwa mereka hanya hidup dalam ilusi yang mereka ciptakan sendiri. Mimpi mereka,  seperti mimpi dalam tidur hanya sebatas bunga-bunga tidur, hanya sebuah ilusi yang dilahirkan didalam kepala. Peluang untuk menjadi nyata tidak pernah ada, akan hilang seiring kesadaran seseorang akan dunia nyata ini. Bahkan terkadang mimpi dalam tidur hanya mengurangi kualitas dari istirahat kita sepanjang malam tersebut. Aku tidak ingin menjadi pemimpi,  aku tidak punya mimpi, aku tidak memiliki sesuatu yang ingin kucapai.

Aku hanya ingin menikmati semua yang layak kunikmati.  Bagiku seperti itulah cara yang tepat untuk bersyukur atas kehidupanku. Mereka yang bermimpi,  tidak akan pernah puas untuk itu.  Dia akan gagal meraihnya,  lalu berkata setidaknya aku mendapatkan hal lainnya yang tidak jauh dari mimpiku.  Kemudian bermimpi lagi dan gagal lagi. Seperti itu saja kehidupan yang tidak ada puasnya dalam mengejar dan mengejar ilusi yang dicipta dikepalanya sendiri. Kehidupan yang penuh omong kosong.

Sangat pecundang, tak berani tampil dalam pergulatan yang nyata. Kenyamanan, kedamaian,  dan penerimaan serta kebahagiaan mereka juga hanya sebatas ilusi. Hanya dibuat dan dipaksa seperti demikian.  Karena adanya ketakutan dalam diri mereka untuk mengenal dunia yang sebenarnya. Sedang aku,  aku banyak menghabiskan waktu membaca buku dan novel. Ilusiku hanya satu, untuk memiliki mimpi lagi, setelah aku harus kehilangannya bersama kepergian orang-orang yang kucintai.

Sebenarnya masih ada keinginan untuk pergi keluar bersama Dani dan teman-teman lainnya.  Aku juga ingin merasakan dan menyaksikan sendiri keindahan alam yang sering mereka dan dalam buku-buku ceritakan.  Dalam setahun belakangan aku hanya bergulat dengan buku dan novel.  Aku ingin lagi menikmati dan hidup dalam kenyataan.  Aku ingin melawan ketakutanku terhadap sebuah hubungan yang berkemungkinan akan hancur lalu menyisahkan luka yang dalam. Tapi,  aku belum siap untuk itu. Dan aku makin tidak suka dengan Dani dia selalu memaksaku.  Tidak ada rasa nyaman berada didekatnya hanya ada risih dan kekesalan.

Aku menjauhinya dalam sebulan ini.  Tapi aku tidak menemukan damaiku,  nyamanku,  ataupun ketenanganku. Aku bingung dengan keadaan ini.  Novel dan buku-buku tidak menarik lagi untuk kubaca. Dan Dani masih terus menegurku jika kami berpapasan di koridor-koridor bangunan kampus.  Dia hanya menyapaku dan tersenyum.  Kenapa tidak lagi,  mengajak untuk bercanda? Dia sama sekali tidak berubah,  selalu menyamaratakan semua orang. Dia berpikir bahwa semuanya adalah temannya,  sahabatnya dan seperti saudaranya.  Begitu juga kepadaku.  Dan itulah kekesalanku yang tidak pernah habis padanya.

Dia seperti anak kecil yang tidak akan pernah peka akan perasaan orang lain. Aku menangis sendiri dalam kebingungan, seperti tingkahku saat aku masih kecil dulu. Karena anak lelaki di kompleks tempatku tinggal menggodaku. Aku butuh ibu sekarang,  sama seperti dulu saat anak kecil yang sama membuatku menangis. Ibu pasti punya banyak cara untuk membuatku lebih tenang.  Tapi, ibu sudah tiada. Sedang ayah sibuk bekerja. Hanya ada bibi pembantu rumah yang sering mengurus keperluanku.

Hanya saja sebatas pada keperluan yang bersifat materil. Mungkin bibi juga segan untuk mencampuri urusan pribadiku lebih jauh lagi karena aku juga tidak pernah melakukan hal yang sama kepadanya. Tapi dia sangat baik,  bibi seperti seorang yang bisa kuandalkan untuk mendapatkan buku dan novel yang ingin kubaca. Dia tahu betul jika ayah tidak begitu suka dengan kebiasaanku tersebut.  Dia bukan tidak suka aku membaca buku.  Tapi,  dia tidak terlalu setuju dengan jenis bukunya.

Dia berharap aku lebih banyak membaca buku yang membahas tentang bisnis atau yang berkaitan dengan ekonomi, bukannya novel dan jenis buku sastra lainnya. Aya berharap suatu saat nanti aku bisa menggantikannya mengurus usaha yang sudah mati-matian di bangunnya sejak dulu lagi. Itulah salah satu alasan, mengapa aku masuk kuliah dan mengambil jurusan akuntansi. Awalnya, sangat susah untuk keluar dari pertikaianku dengan ayah.  Lalu bibi datang dengan idenya,  untuk aku membeli buku lainnya selain buku-buku yang berbau sastra. Dan buku itu adalah buku-buku yang seperti ayah maksud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun