Aku selalu melihat kupu-kupu yang terbang dari satu bunga ke bunga yang lain.
Kupu-kupu yang dulu kita ajak berbicara soal cinta ternyata adalah kunang-kunang.
Aku baru tahu ketika kedewasaan atau mungkin sadar akan kebenaran waktu yang membentuk pola hidup yang tidak bergerak.
Lambat sekali, seperti  senyummu yang memudar di ambang desahan nafasmu.
Kunang-kunang itu ikut memudar.
Bukan sebuah kesalahan, sebab kenyataannya kau bahagiBukan sebuah kesalahan, sebab kenyataannya kau bahagia.
Ditepi ranjang kehidupan ini, kutemui kembali kupu-kupu itu.
Menjelma merak, membawa lentera di parunya.
Sehingga sebagian tapak kakiku terlihat dan bayang yang cukup setia menemani.
Malam makin menawarkan kesunyiannya.
Saat bayangmu memudar dan  tapak kaki yang mendahuluiku seolah menunjuk arah kepadanya.
Siapa?
Dimana?
Mengapa?
Pertanyaanku makin tidak tahu arah.
Tapi beruntungnya dikau masih terus menata rapikan.
Purnama!
Aku melewatinya lagi.
Hilanglah jejak!
Hilang kesempatan menikmati senyum indahmHilang kesempatan menikmati senyum indahmu.
Dan sebuah kisah, apakah mampu menggerakkan  waku yang diam itu?
Sabah, 09/07/2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H