Perubahan regulasi pemerintah telah banyak berdampak pada sistem pendidikan naional. Perubahan kurikulum, sistem ujian, sistem PPDB, dan masalah pencairan Tunjangan Profesi selalu berubah-berubah. Image ganti presiden ganti kurikulum, ganti menteri ganti kebijkan sudah membumi dalam masyarakat.
Perubahaan cepat regulasi pencairan tunjangan profesi bagi guru sudah semakin menyulitkan guru-guru untuk mendapatkan tunjangan tersebut. Padahal menurut UU Guru dan Dosen (UUGD no 14 Tahun 2005) pasal 16 bahwa “pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang memiliki sertfikat pendidik,” besaran setara dengan satu kali gaji pokok PNS. Tunjangan Profesi dalam hal ini, merupakan penghargaan atas profesionalismenya (penjelasan pasal 15 UUGD dan hanya mensyaratkan beban mengajar 24 jam semiggu (pasal 35).
Akan tetapi, perubahan regulasi cepat pemerintah telah mengakibatkan pada tahun 2020 semua guru-guru SPK bersertfikat pendidik tidak mendapatkan tunjangan profesi (perdirjend GTK Kemendikbud no. 5745/B.B1.3/HK/2019 point C.2 dan dipekuat denga Persekjend Kemendikbud No. 6 tahun 2020 pasal 6 ayat 2b). Pengecualian yang dilakukan pemerintah melalui Perdirjend GTK, sangat bertentangan dengan UUGD, dan PP no, 41 tahun 2009 jo PP no. PP 19 tahun 2019 dan Peraturan Kemendikbut no. 19 tahun 2019. Bahkan hasil sinkonisasi dapodik, guru-guru SPK yang awalnya SKTP-nya telah terbit, per 15 Oktober 2020 di “batalkan” pemerintah dan sangat berani melawan undang-undang.
Fenomena ini, menunjukan bertapa rentan terjadinya perubahan-perubahan peraturan pemerintah secara cepat mengikuti selera penguasa atau tekanan investor. Karena kebaradaan sekolah SPK sebagai dampak keberdaan sekolah berstandar Internasional yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dan lahir berizinan disinyalir ada tekanan investor yang tidak mau sekolah kembali menjadi sekolah nasional. Karenanya, hanya berganti kulit demi tekanan investasi oleh kaum kapitalis pendidikan. Sementara guru-gurunya, masih jauh dari sejahtera. Karena belum ada standar gaji guru SPK maupun guru-guru lainya. Khususnya guru swasta yang hanya diatur berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama (Pasal 52 ayat 3 UUGD).
Oleh karena itu, perinzinan berusaha pada sektor pendidikan tidak boleh diatur dalam peraturan pemerintah yang sangat berpotensi selalu berubah, malinkan harus diperjelas secara rigit dalam bentuk perturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sehingga tidak mudah dirubah. Regulasi pada sektor pendidikan harus bersifat jangka panjang dan perubahannya juga melibatkan banyak komponen masyarakat secara partisipatorik.
Kembali ke Khittah
Perizinan berusaha sektor pendidikan, dengan segala permasalahan sekarang dan kedepannya, harus dikembalikan ke khittahnya yaitu UU no. 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tanpa pengecualian.
Pada masa pemerintahan orde lama, pengaturan sistem pendidikan dan pengajaran termaktup dalam UU no, 4 Tahun 1950. Menurut UU tersebut, permintahan memberikan izin untuk mendirikan sekolah partikulir kepada badan-badan partikulir (Pasal 11 UU No. 4 Tahun 1950) dan mendapatkan subsidi oleh pemerintah untuk pembiayaan (Pasal 14). Sekolah pada jenjang pendidikan dasar, murid-muridnya tidak dipungut uang sekolah (Pasal 22), sedang pada jenjang pendidikan menengah dan kejuruan hanya dikenakan uang penggunaan alat sekolah.
Begitupula dengan status guru-gurunya harus memiliki ijazah guru. Karenanya status guru pada masa itu, “terpandanga baik” secara ekonomi dan sosial (Iwan Syahril: Sejarah Guru dan Pendidikan Guru di Indonesia dari zaman ke zaman). Sehingga pada saat itu, kehidupan gurunya layak dan mendapat kehormatan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena semua guru berstatus pegawai pemerintahan, baik yang bertugas di skeolah negeri maupun sekolah partikulir
Pada masa orde baru, menurut Iwan Syahril; sejak tahun 1970 terjadi penurunan terhadap status guru. Walaupun pada saat itu terjadi rekruimen tenaga guru secara masal mulai dari tinggat SD, SLTA, dan SLTA. Rekruitmen guru secara masal tidak ikuti upaya meningkatan kesejahteraan dengan gaji yang kurang baik dan penciptaan kondisi kerja yang kurang memadai.
Sementara itu, perizinan mendirikan sekolah bersifat sentralistik pada pemerintah pusat. Akibatnya infrastruktur sekolah-sekolah sangat lambat mengalami perkembangan, karena ada campurtangan politik dalam urusan pendidikan. Kedekatan politik, pemangku jabatan bidang pendidikan mulai dari sekolah sampai ke dinas pendidikan, berdampak pada peningkatan infrastruktur sekolahnya. Begitu pula dengan keberadaan guru-guru, kenaikan pangkat, golongan, dan mutasi guru sangat erat dengan konektifitas personal.