Mohon tunggu...
Halim Pratama
Halim Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - manusia biasa yang saling mengingatkan

sebagai makhluk sosial, mari kita saling mengingatkan dan menjaga toleransi antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aktualisasi Esensi dan Pesan Luhur Ibadah Kurban

23 Juni 2024   13:45 Diperbarui: 23 Juni 2024   13:52 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibadah Kurban - www.sinergifoundation.org

Perayaan hari raya Idul Adha saat ini tidak lepas dari kisah Nabi Ibrahim as dan putranya, Nabi Ismail as. Pesan dan 'ibrah dari peristiwa besar yang tidak ada duanya dan tidak akan terulang kedua kalinya dalam sejarah umat manusia itu, dapat disinyalir bahwa muslim sejati adalah yang memiliki kecintaan dan kepatuhan mutlak kepada Allah SWT melebihi kecintaannya kepada siapapun dan apapun. 

Kecintaan manusia kepada siapa dan apa saja harus selalu didasari karena kecintaannya kepada Allah SWT. Perjuangan Nabi Ibrahim as dan putranya, Ismail as hendaknya dapat dijadikan introspeksi diri atas ketaatan manusia dalam memegang teguh syariat Islam.

Menghayati dan mangaktualisasikan makna esensi dan pesan-pesan luhur ibadah kurban untuk menghadirkan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi sesama tidak terlepas dari misi agama, baik sebagai hamba Allah SWT, maupun sebagai khalifatullah, baik sebagai umat maupun warga bangsa. 

Ritualitas kurban diharapkan mampu membentuk pribadi muslim yang peduli terhadap masyarakat dan lingkungan sekelilingnya, sebagai manusia yang siap berkorban dan mengulurkan tangan untuk membantu dan meringankan penderitaan kepada sesama, terutama kepada umat yang lemah dan membutuhkan (kaum dlu'afa dan masakin).

Makna esensi dan pesan luhur lainnya dari ibadah kurban adalah bahwa Allah SWT sangat sayang dan menjunjung tinggi harkat, martabat dan jiwa manusia, sehingga Ia sama sekali tidak memperkenankan terjadinya pembantaian, tercucurnya darah atau lenyapnya nyawa manusia untuk kepentingan apapun. Ajaran Islam tidak pernah mentolerir terjadinya kekerasan, kebrutalan dan penindasan dalam bentuk apapun yang mengakibatkan tumpahnya darah manusia atau penderitaan umat manusia.

Nabi Ibrahim as dikenal sebagai bapaknya para nabi atau 'abu al an-biya'. Sejak Nabi Ibrahim as diutus oleh Allah SWT sebagai rasul, maka nabi-nabi dan rasul setelah itu semuanya adalah anak cucu keturunan yang silsilah nasabnya kepada Nabi Ibrahim as. 

Selain karena memang telah menjadi pilihan Allah SWT, status dan peran Nabi Ibrahim sebagai 'abu al an-biya' juga berkat doa yang ia panjatkan dan dikabulkan oleh Allah SWT sebagaimana tertuang dalam QS 2:124; "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

Allah SWT sendiri yang kemudian mendidik karakter Nabi Ibrahim as sebagai pemimpin yang harus siap dan rela berkorban. Berkorban mengalahkan kepentingan diri dan kelompoknya, mengalahkan egoisme, dan kepentingan jangka pendek dengan hanya menghambakan diri kepada Allah SWT.

Ketika Allah SWT perintahkan agar anak yang baru lahir diantar ke suatu lembah sunyi yang tak berpenghuni di tengah padang pasir yang sepi. Bagi seorang suami, berpisah dengan istri adalah pengorbanan. Bagi seorang ayah berpisah dari anak yang kedatangannya sudah berpuluh tahun diharapkan adalah satu penyiksaan. 

Namun Ibrahim as adalah Rasul dan manusia pilihan. Baginya, jika Allah SWT yang memerintahkan, apapun yang terjadi perintah harus dilaksanakan. Istilah kata, meski bumi hancur, langit runtuh, namun perintah Allah SWT harus tetap dipikul di atas bahu, dijinjing dengan tangan dan digigit dengan gigi geraham.

Pendidikan keluarga, nampaknya menjadi syarat untuk memimpin umat manusia. Ketaatan sebuah keluarga kepada Allah SWT menjadi modal dasar dalam upaya membina ketaatan umat, termasuk dalam membina dan membentuk karakter anak. Ketika Allah SWT kemudian menguji keluarga Nabi Ibrahim as dengan perintah mengorbankan dengan menyembelih putra semata wayangnya yang bernama Ismail as. 

Perintah itu tentu menjadi dilema, mengingat Nabi Ismail as merupakan putra satu-satunya. Akan tetapi ketakwaan yang tak ternilai kepada Allah SWT telah membulatkan tekat Nabi Ibrahim as untuk tetap menyampaikan perintah itu kepada putranya.

Dengan penuh kelembutan, tawadu dan penuh rasa kasih sayang, ia menyampaikan perintah Allah SWT sebagaimana dalam mimpinya dalam bentuk dialogis agar putranya Ismail as mengambil keputusan secara mandiri, tak tertekan dan sesuai dengan keinginannya sendiri. Pola komunikasi interaksionisme simbolik yang dilakukan Nabi Ibrahim as kepada putranya Nabi Ismail as mampu mengkomunikasikan hati dan pikiran antara sang ayah dengan anak, sehingga pertanyaan dalam penuturan perintah 'menyembelih' ini juga mampu dipahami dengan baik oleh Nabi Ismail as dengan penuh kepasrahan dan ketakwaan hanya kepada Allah SWT.

Nabi Ismail as langsung menjawab; "Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS 38:102). Jawaban Nabi Ismail ini telah meneguhkan komitmen di keluarga itu bahwa ketakwaan dan kemampuan menerima ujian Allah SWT merupakan hal pertama dan utama yang tertanam dengan kuat, sehingga mereka mengabaikan kecintaan dalam bentuk apapun kepada selain Allah SWT, meskipun pada akhirnya penyembelihan itu gagal karena Allah SWT mengganti Ismail as dengan hewan sembelihan.

Terkandung pelajaran berharga dalam kisah Nabi Ibrahim as dan putranya Nabi Ismail as bahwa Allah SWT meminta kita untuk mematuhi proses awal, bukan melihat hasilnya. Allah SWT akan menilai bagaimana kita ini berproses untuk menjadi orang yang beriman, menjadi orang yang bertakwa, menjadi ayah yang saleh bagi keluarganya, yang telah dididik dengan nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT hingga kelak menjadi keluarga yang diberkahi oleh-Nya

Terkait problematika saat ini, dimana orang-orang berkoar-koar atas nama agama bahkan juga Tuhan untuk menyakiti, menindas, mengganggu keamanan dan kenyamanan, mereka harus berkaca pada keteladanan Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Keberagaman adalah kehendak-Nya, dimana kita harus menerima itu sebagai salah satu bentuk ketaqwaan.  Damailah hidup berdampingan, saling tolong menolong dalam kebaikan, jika kalian bertaqwa...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun