Pendidikan keluarga, nampaknya menjadi syarat untuk memimpin umat manusia. Ketaatan sebuah keluarga kepada Allah SWT menjadi modal dasar dalam upaya membina ketaatan umat, termasuk dalam membina dan membentuk karakter anak. Ketika Allah SWT kemudian menguji keluarga Nabi Ibrahim as dengan perintah mengorbankan dengan menyembelih putra semata wayangnya yang bernama Ismail as.Â
Perintah itu tentu menjadi dilema, mengingat Nabi Ismail as merupakan putra satu-satunya. Akan tetapi ketakwaan yang tak ternilai kepada Allah SWT telah membulatkan tekat Nabi Ibrahim as untuk tetap menyampaikan perintah itu kepada putranya.
Dengan penuh kelembutan, tawadu dan penuh rasa kasih sayang, ia menyampaikan perintah Allah SWT sebagaimana dalam mimpinya dalam bentuk dialogis agar putranya Ismail as mengambil keputusan secara mandiri, tak tertekan dan sesuai dengan keinginannya sendiri. Pola komunikasi interaksionisme simbolik yang dilakukan Nabi Ibrahim as kepada putranya Nabi Ismail as mampu mengkomunikasikan hati dan pikiran antara sang ayah dengan anak, sehingga pertanyaan dalam penuturan perintah 'menyembelih' ini juga mampu dipahami dengan baik oleh Nabi Ismail as dengan penuh kepasrahan dan ketakwaan hanya kepada Allah SWT.
Nabi Ismail as langsung menjawab; "Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS 38:102). Jawaban Nabi Ismail ini telah meneguhkan komitmen di keluarga itu bahwa ketakwaan dan kemampuan menerima ujian Allah SWT merupakan hal pertama dan utama yang tertanam dengan kuat, sehingga mereka mengabaikan kecintaan dalam bentuk apapun kepada selain Allah SWT, meskipun pada akhirnya penyembelihan itu gagal karena Allah SWT mengganti Ismail as dengan hewan sembelihan.
Terkandung pelajaran berharga dalam kisah Nabi Ibrahim as dan putranya Nabi Ismail as bahwa Allah SWT meminta kita untuk mematuhi proses awal, bukan melihat hasilnya. Allah SWT akan menilai bagaimana kita ini berproses untuk menjadi orang yang beriman, menjadi orang yang bertakwa, menjadi ayah yang saleh bagi keluarganya, yang telah dididik dengan nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT hingga kelak menjadi keluarga yang diberkahi oleh-Nya
Terkait problematika saat ini, dimana orang-orang berkoar-koar atas nama agama bahkan juga Tuhan untuk menyakiti, menindas, mengganggu keamanan dan kenyamanan, mereka harus berkaca pada keteladanan Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Keberagaman adalah kehendak-Nya, dimana kita harus menerima itu sebagai salah satu bentuk ketaqwaan. Â Damailah hidup berdampingan, saling tolong menolong dalam kebaikan, jika kalian bertaqwa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H