Dunia virtual di Indonesia semakin ramai. Pengguna internet di Indonesia makin hari terus bertambah. Begitu juga pengguna media sosial. Di masa pandemi seperti sekarang ini, aktifita di media sosial tentu terus mengalami peningkatan, seiring masih diterapkannya pembatasan seperti social distancing.Â
Dengan peningkatan aktifitas di media sosial ini, tentu juga harus diimbangi dengan pengawasan yang ketat untuk anak-anak kita. Kenapa? Karena dalam perkembangannya media sosial tidak hanya menjadi tembat untuk berinteraksi, mendapatkan informasi atau perilaku positif lainnya. Media sosial nyatanya tidak bisa membendung maraknya ujaran kebencian, provokasi dan hoaks.
Media sosial memang menjadi ruang publik. Siapa saja bisa beraktifitas di ruang ini. Karena itulah perlu sebuah rambu-rambu, agar segala aktifitas di ruang publik ini tetap beretika, mematuhi norma perilaku dan tetap saling menghargai keberagaman.
Aktifitas yang paling marak di media sosial adalah menyatakan pendapat. Baik itu dalam bentuk tulisan, gambar, audio, video atau yang lainnya. Persoalannya, tidak semua postingan tersebut mengandung konten positif. Tidak sedikit diantara konten yang diunggah justru mengandung sentimen kebencian.
Lalu, apakah kita boleh mengumbar kebencian? Apakah setiap manusia boleh saling membenci? Pada dasarnya setiap manusia mempunyai sifat baik dan buruk.
Ibarat dua sisi mata uang, kedua sifat tersebut saling berdampingan dan ada di dalam diri manusia. Tinggal kita mau menggunakan yang mana. Jika menggunakan yang buruk, maka konsekwensi yang ditanggung pun juga akan buruk. Begitu juga dengan yang baik, outpun yang didapatkan pun juga akan baik.
Begitu juga dalam berpendapat. Ada pendapat yang sifatnya baik, tapi juga tidak sedikit pendapat yang sifatnya buruk. Dalam konteks kebebasan berpendapat, apakah keduanya bisa dilakukan? Karena manusia mempunyai sifat baik dan buruk, tentu saja bisa. Tinggal bagaimana manusia tersebut bisa mengontrol.
Dan salah satu fungsi kontrol dalam menyampaikan pendapat adalah etika. Dalam beraktifitas di media sosial tetap diperlukan etika, seperti halnya ketika kita beraktifitas di dunia nyata.
Etika ini penting agar kita tetap bisa saling menghargai keberagaman. Karena pihak-pihak yang berinteraksi di media sosial berasal dari mana saja dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Jika kita tidak bisa saling menghargai, yang terjadi adalah saling caci.
Ironisnya, cacian tersebut dianggap sebagai bagian dari kebebasan menyatakan pendapat. Hal semacam inilah yang tidak perlu kita contoh. Dan pada titik inilah pentingnya menjaga etika dalam berpendapat.
Tidak hanya etika yang diperlukan, tapi juga aturan. Dalam konteks pengaturan yang lebih luas, pemerintah telah membuat UU ITE, untuk mengatur segala aktifitas di dunia maya untuk tetap mengedepankan rasa saing menghargai dan menghormati. Namun karena adanya pasal-pasal yang dianggap karet, banyak orang memanfaatkannya untuk saling melaporkan ketika merasa ada unsur tindak pidana di dunia maya.Â
Misalnya, karena merasa tersinggung dengan postingan seseorang di media sosial, bisa melaporkan ke aparat kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik. Ketika terbukti unsur pelanggaran, tentu polisi akan menetapkan tersangka.
Dalam beberapa tahun kebelakang, tidak sedikit orang yang ditetapkan tersangka karena melanggar UU ITE. Kini, ketika UU tersebut direcanakan untuk direvisi, tuduhan bermacam-macam kembali bermunculan.
Pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus berseteru? Apakah pemerintah selamanya jelek? Apakah kita selamanya benar? Mari introspeksi.
Sejauh ini Indonesia sudah berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi masyaraktanya. Tinggal kita sebagai masyarakat, apa yang bisa kita berikan kepada Indonesia, agar ini tetap tumbuh dan berkembang menjadi negeri yang indah, toleran dan menghargai kemanusiaan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H