Mohon tunggu...
HALIM BAHRIZ
HALIM BAHRIZ Mohon Tunggu... -

www.awalpekan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Atom Filosofis & Basa-basi Sastra Digital

16 Juli 2016   19:12 Diperbarui: 16 Juli 2016   19:18 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

di depan keributan kata tunggal

(dial-a-poem / +43 1 58 50 433, hal 21)

Puisi-puisi Malna yang tak menaruh kekuatannya pada ejambement dan bunyi, memudahkan tipografinya beradaptasi dengan teknik tata letak halaman; dan hal inilah yang membuat beberapa puisi cenderung mengingatkan kita kepada fenomena puisi konkret di era lama. Permainan layout yang tidak berarti, atau berarti, ketika ia mendapatkan pola yang tepat; semacam arsitektur garis yang meneguhkan misi puisi. Seperti yang terlihat dari judul “memotret cermin” atau “altar pergamon” —dan tak jatuh sebagai dekorasi yang terkesan kenes, seperti yang terjadi pada puisi “paket kiriman”.

Selain kedua judul di atas, juga hadir sejumlah puisi yang berisi gambar, foto, atau bentuk yang seutuhnya seni rupa. Bentuk yang tak terjangkau; sama sekali kosong dari beban pengertian yang telah ada. Huruf-huruf seakan rontok untuk menampakkan apa itu bahasa. Judul-judul seperti “meteran antara bahasa, arsip dan tindakan” atau “gambaran berulang 2” atau “bungkusan kesunyian” atau “hotmail: otto dix” membawa puisi pada tapal batas “apa sesungguhnya puisi (tanpa kata puisi)?” Malna seakan memperluas medan pertaruhan atas puisi itu sendiri. Puisi tak lagi berada dalam monopoli nalar kesusastraan—dalam artian manajemen kata-kata—lalu melaju memasuki ruang-ruang ekspresi seni lainnya untuk terus menemukan napasnya yang bebas dan suara yang presentatif; suatu tabiat kepenyairan yang aku pikir menegaskan posisi Malna sebagai poros lain di luar rezim “tata bahasa” dan kelaziman puisi.

Ketak-akuran Malna dengan “tata bahasa” sebenarnya repetisi yang terus hadir sejak buku-buku puisi sebelumnya. Sebab itulah puisi berjudul “mitos mimesis” segera tampak sebagai bentuk termonumental dari permusuhan yang agaknya mulai beralih pada situasi kontemporer lainnya: dunia digital. Dalam kumpulan berlin proposal telah disajikan sejumlah bentuk puisi yang coba menyeret lema tersebut asyik-masuk menjadi pergulatan kesusastraan kita. Seperti yang secara lugas digambarkannya melalui judul “puisi digital” dan “teritori digital”—yang dengan aneh menyandingkan tanggal-tanggal bersejarah sebagai kode elektrik yang biasa kita temui pada label produk pabrikan; keduanya dengan gamblang kembali menyaji keheranan yang meronta ingin dipahami.

Tapi benarkah bentukan semacam itu me-presentasikan “kesusastraan digital” atau sebentuk basa-basi belaka? Bukankah sama saja dengan yang telah terjadi selama ini melalui sebentuk “cyber sastra”—dengan plot terbalik; yang secara reaktif, cumalah migrasi huruf-huruf lumrah dari kertas menuju layar monitor? Sebab aku membayangan, bahwa “sastra-digital” semestinya tak terurai di atas kertas. Di konteks ini, mungkin benar apa yang pernah diduga karibku; bahwa sastrawan kekinian yang sesungguhnya haruslah menguasai kemahiran seorang Hacker. Saya tak tahu. Mungkin belum tahu. Atau justru tak akan pernah tahu. Susah sekali memasuki dunia digital. Sebab saya telah terbungkus di dalamnya. Tanpa perjalanan menuju ke dalamnya.

berlin proposal sebagaimana buku-buku Afrizal sebelumnya, tetaplah menarik untuk digali lebih dalam. Secara umum, puisi-puisi Malna hampir selalu mudah menjelma “labolatorium-puitik” yang dengan begitu setia menyediakan variasi kemungkinan estetik untuk dibawa berjelajah lebih jauh. Topik yang termaktup dalam puisi-puisinya seringkali memicu perbincangan yang lebih luas; seakan memiliki sebuah pintu—untuk keluar dan terlepas dari kejenuhan rumah tangga puisi. Atau masuk, untuk menyaksikan dan merasakan bahwa kita adalah salah satu barang bekas yang telah tersusun di dalamnya.[]

26104241-uy598-ss598-5786403b597b6189069e0c63.jpg
26104241-uy598-ss598-5786403b597b6189069e0c63.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun