Mohon tunggu...
HALIM BAHRIZ
HALIM BAHRIZ Mohon Tunggu... -

www.awalpekan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Atom Filosofis & Basa-basi Sastra Digital

16 Juli 2016   19:12 Diperbarui: 16 Juli 2016   19:18 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cara itulah yang mau tak mau harus ditempuh demi menghindarkan tubuh dari kevakuman kata-kerja kebudayaan, atau yang dalam buku puisi sebelumnya, ia sebut sebagai metafora “Museum Penghancur Dokumen”. Benda-benda yang berputar dalam kosmos urban dan kapitalisme telah disuntik dengan pemaknaan silikon sebagaimana kata dalam jerat “tata-bahasa”; alur naming tertukar—dan benda-benda tersebut nyaris selalu terlepas dari diagnosa alur sosiologis massa pemakainya. Apa “smartphone” sebelum kata “smartphone”? Apa “facebook” tanpa kata “facebook”? Selama ini, relasi kita dengan material ruang yang baru tidak lebih dari realisasi sebuah tips. Kehadiran “benda-benda asing” itu gagal membangkitkan keheranan kita; dan kota terus me-produksi kata (benda) untuk meresmikan pengucapnya sebagai budak dalam sirkuit pemeristiwaannya (kata kerja). Malna, membangun “ruang tunggu darurat” untuk berhenti dan melihat lalu-lintas “kematian-aku” yang mengubah tubuh menjadi keranda bagi dirinya sendiri.

  • Malna seakan ingin menumbuhkan lumut pada puisinya. Lumut sebelum kata lumut.

Afrizal tidak menambang kata dalam kamus-kamus dan buku-buku antropologi. Bahkan, puisinya yang mengupasi etnografi, tidak terjerembab menjadi “sajak-sajak antik” yang bergenit-genit di depan cermin sejarah. Idiom-Idiom etnikal yang terpakai dalam puisinya berletak pada pemeristiwaan kontemporer yang menguatkan gejala dan mengelupasi nostalgia. Kebermunculan diksi-puisi tak lumrah adalah kesetiaan pada gerak realitas, ruang dan referensi natural. Dialah pewaris sesungguhnya dari apa yang pernah diujar Chairil sebagai “pencarian kata hingga ke putih tulang”. Malna memotret bahasa di seluk-beluk keseharian dan siklus peristiwa.

Dalam berlin proposal, sebenarnya hampir tak muncul lagi puisi yang berupaya merenovasi kekinian etnisitas, sebagaimana yang sebelumnya terhimpun dalam Museum Penghancur Dokumen. Kecuali serupa serpih di beberapa judul. Dari sana, nampaklah kesetiaan yang saya maksud: sebab buku ini ia susun di Eropa. Meski begitu, sebagian besar isinya masilah menyoal “persidangan sejarah dan warisan”. Masa silam yang kehilangan tombol-tombolnya. Seperti kesibukan menyusun kode angka untuk menelpon para moyang; antara kesan penyesalan, sebuah ketulusan berminta maaf, dan kekecewaan—dialah “seorang-bekas-aku (yang) melihat seorang-bekas-masakini, seperti saudara kembar dalam pesawat terbang yang tidak pernah mendarat.” (proyek puisi kontemporer, hal 99) “Sonder ketemu, sonder mendarat!” kata Chairil.

berlin proposal yang ditulis ketika Malna mengikuti Artis Residen - DAAD di Berlin (selama 1 bulan, 2012—dan dilanjutkan selama 1 tahun, 2015) dengan sendirinya menyediakan medan primordial atas kekosongan bahasa yang lebih konkret. Seperti yang telah ia tuliskan dalam “catatan moabit”-nya, “Situasi ini membuat saya semakin dekat dengan tubuh saya. Saya mulai tumbuh seperti “Serangga Kafka” dalam makna, kehilangan sinyal-sinyal penghubungnya. Bahasa menjadi tragedi representasi.”

Afrizal Malna adalah seorang yang selalu kesulitan mempelajari bahasa asing; dan yang buatku terasa mengerikan, seperti yang diakuinya, tubuhnya seakan-akan telah menjadi “tubuh-bahasa-Indonesia yang permanen”. Apakah manusia Berlin terdengar seperti burung yang berkicau, Afrizal? Apakah Arsip-arsip—dalam berbagai varian bentuknya—belaka nampak sebagai seni rupa? Seperti “pada kata api dalam kamus, nyalanya tak terlihat.” (pemadam api setelah kebakaran, hal 15)

kau bertanya tentang penggaris yang patah

dalam kerja alam dan kerja bahasa

memberikan garis seifmograf ke leher makna

tentang bahasa yang jadi pengungsi dalam kode-kode digital

kata majemuk yang semakin pendiam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun