Pukul 4.30 WIB saya bangun. Suasana subuh terasa sejuk, sebab semalam Bogor di guyur hujan. Setelah sholat subuh, lanjut masak dan beresin rumah. Waktu telah menunjukkan pukul 06.30 WIB, sehabis mandi dan membereskan barang-barang seperti laptop dan alat tulis, barulah berangkat ditemani dengan suami dan Vario merah andalan kami.
Suasana Saungnya sangat menyenangkan. Awal kedatangan sudah disambut dengan pohon pohon dan taman rumput yang terawat. Sebelah kanan terdapat kolam renang khusus anak-anak. Ada juga ayunan dan seluncuran, langsung teringat anakku pasti menyukai tempat ini.
Lokasi saung luas. Aku sempat bingung, ruang mana yang digunakan untuk pelatihan dari Disdik. Beruntungnya ada satpam, beliau langsung menunjukkan letak ruang pelatihan tersebut. Kali ini saya terlambat, tapi ada juga beberapa peserta yang baru datang, aduh-aduh budaya Indonesia yang masih mengakar. Dua petugas berpakaian putih-putih menyambut dengan ramah. Sambil meminta surat tugas dari sekolah untuk di cap, lalu mempersilahkan kami masuk.
Pelatihan literasi dan numerasi dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kota Bogor. Diundangan tertulis ada 127 sekolah tingkat SMP di Kota Bogor yang diundang. Pematerinya dari kota tetangga. Ibu Nia Kurniasih dengan nama pena meynia dan pak Insanul Kamil yang akrab disapa pak Inul.
Pelatihan literasi dan Numerasi diawali dengan kata sambutan dari Disdik. Salah satu poin yang beliau sampaikan kepada seluruh guru di ruangan itu bahwa, tingkat literasi Indonesia masih rendah pada umumnya dan kota Bogor khususnya. Berdasarkan hasil ANBK tahun lalu hanya 30% sekolah yang berwarna hijau, selebihnya kuning dan merah. Artinya, perlu peningkatan untuk bidang literasi di sekolah SMP Kota Bogor.
Kegiatan selanjutnya, pemaparan dari pemateri. Pemateri pertama dibawakan oleh Bu Meynia. Perkenalan bu Meynia sangat menarik, beliau menunjukkan karya beliau berupa buku-buku yang sudah ber ISBN. Beliau sangat aktif menulis. Poin –poin yang beliau sampaikan;
Pertama, untuk meningkatkan literasi siswa yang harus berubah terlebih dahulu gurunya. Guru akan menjadi model bagi siswa-siswanya. Jangan sampai guru meminta anak untuk membaca, sedangkan gurunya tidak pernah membaca kecuali buku mata pelajaran.
Kedua, paparkan kata-kata berupa slogan, poster dan mural di lingkungan sekolah, sebagai bentuk literasi sederhana.
Ketiga, selain pojok baca di dalam kelas, pojok baca juga tersedia di ruang kepala sekolah, diruang tunggu orang tua. lalu, keempat, kegiatan literasi dikemas dalam bentuk menyenangkan, misalkan guru menceritakan isi buku yang dibacanya kepada murid. Lalu, murid juga melakukan hal yang sama kepada teman-temannya.
Satu fakta yang disampaikan oleh bu Meynia, bahwa Indonesia itu krisis literasi. Taufik Ismail melakukan riset kepada beberpa sekolah SMA di berbagai negara pada 13 negara pada bulan Juli-Oktober 1997. Dari SMA Thailand Selatan kewajiban membacanya 5 buku, Malaysia 6 buku sedangkan di Indonesia kewajiban membacanya 0 buku. Kesimpulan riset tersebut, wajar jika literasi di Indonesia rendah, sebab siswanya tidak membaca dan tentu pasti tidak menulis.
Literasi yang rendah di Indonesia terlihat dari hal-hal kecil yang terjadi di lapangan. Bu Meynia menceritakan bagaimana dia kebingungan dengan penjelasan seorang bapak-bapak yang diminta menunjukkan jalan ke pasar saat dia berkunjung ke Lampung. Dimana si bapak mengatakan untuk belok ke kanan tapi tangannya menunjukkan ke kiri. Lampu merah tanda berhenti, masih saja ditancap gas. Tertulis kata “ANTRI” tapi masih ada saja yang menyerobot. “Belok ke kiri, lampu sein ke kanan” celetuk guru laki-laki. Sontak ibu – ibu gurunya pada ketawa, karna slogan itu melekat dengan ibu-ibu di Indonesia.
Pelatihan kali ini terasa cepat. Jam ditangan sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Kegiatan pun dihentikan untuk melakukan Ishoma. Ada yang makan terlebih dahulu, ada juga yang memilih sholat untuk menghindari antrian di tempat prasmanan yang mengular. Saya memilih yang kedua.
Pemateri selanjutnya tidak kalah seru yang dibawakan oleh pak Inul. Cara menyajikan materi sangat nyentrik, sarkasme yang dibaluti lawakan lawakan. Walau opini-opini beliau banyak yang menyindir para guru, tapi kita sebagai pendengar tidak tersinggung sama sekali.
Bagi saya ada dua hal yang menarik dari pernyataan beliau. Pertama, beliau mengatakan jika fenomena untuk memberikan KKM sering pakai perasaan. Mengabaikan 3 komponen, yaitu kompetensi awal peserta didik, kompetensi yang diharapkan dan daya dukung. Dengan bahasa betawi yang kental, beliau mencontohkan dialog yang terjadi pada guru di sekolah. “KKM kita sekarang berapa ya?” “Perasaan tahun kemarin 75 dah, tahun ini 76 aja”. Semua peserta langsung tertawa mendengar celetukkan beliau. Serius, ini relate sekali.
Kedua, guru-guru sekarang sering menggunakan metode pembelajaran yang itu-itu saja. Walau bekerja sudah belasan tahun, tapi tidak ada pengalaman yang berbeda. Masuk kelas, absen, ceramah, tugas, menilai, lalu sisanya marah-marah. Itu-itu saja rutinitas yang dilakukan setiap hari. Sehingga tidak jarang siswa itu banyak planga plongo jika ditanya sudah belajar apa. “Buk, kalau boleh jujur banyak kecerdasan siswa kita hilang karna kesalahan yang guru lakukan”, kata beliau.
Pelatihan literasi dan numerasi kali ini terasa berbeda. Saya merasa pelatihan ini banyak memberikan semangat dan pandangan baru bagaimana seharusnya menjadi guru yang berliterasi. Saya becermin bahwa banyak hal yang perlu dibenahi dalam mengajar. Bersyukur bisa mengikuti pelatihan. Terimakasih Disdik kota Bogor telah membawa obor semangat untuk saya.
Bogor, 14 Juli 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI