Kita, sesuai namanya; Homo Sapiens adalah makhluk cerdas dan bijaksana. Ketika revolusi kognitif menuju revolusi agrikultur 12.000 tahun yang lalu, tak terhitung berapa jumlah Homo Sapiens yang gelisah, berusaha bertahan dan menolak terjadinya perubahan mendasar dalam pola-pola kehidupan mereka. Perpindahan pola tersebut adalah dari masyarakat pemburu dan pengumpul menuju masyarakat pertanian dan peternak.
Namun, penolakan dari sekelompok Sapiens ini sama sekali tidak membuat revolusi agrikultur berhenti. Malah ia semakin melaju terus ribuan tahun kemudian, sampai saat ini. Ada yang tetap bertahan menjadi pemburu dan pengumpul atau nomaden. Tapi jumlahnya sangat kecil, kalah dengan jumlah laju fertilitas (pertumbuhan populasi) masyarakat agrikultur yang menetap.
Revolusi ketiga setelah revolusi kognitif dan agrikultur, adalah revolusi saintifik 500 tahun lalu saat digagas oleh Galileo dan Newton. Ketika revolusi saintifik ini terjadi, yang bertahan dan gelisah juga tetap ada. Ditambah kemudian menyusul temuan-temuan sains pada abad-19 dan seterusnya yang menggantikan peran manusia oleh mesin di era industri, sehingga mengambil alih sistem-sistem produksi yang awalnya ditangani manusia menjadi kekhawatiran tersendiri. Tapi ketika hal itu terjadi, kita tetap survive dan baik-baik saja.
Revolusi, didefinisikan sebagai terjadinya perubahan fundamental dalam pola-pola kehidupan manusia secara radikal. Revolusi adalah kata sifat, ia berjalan cepat. Namun objek atau penerapan dan pembiasaannya bersifat evolutif. Dengan kata lain berjalan lambat. Layaknya perubahan atas sebuah kebiasaan, tentu bukanlah perkara mudah melewatinya. Sebab manusia secara lahiriah tumbuh dan berkembang berbasis kebiasaan. Banyak benturan yang terjadi ketika perubahan datang, bahkan ada juga yang berupa penolakan.
Saat ini, di era revolusi keempat dunia yaitu revolusi teknologi informasi atau digitalisasi, tak pelak lagi sebagian kita juga tak terbiasa menghadapinya. Maka sejalan dengan hal tersebut, Yuval Noah Harari dalam Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan, menyebut sekelompok individu yang menolak konsep digitalisasi ini dengan sebutan Kaum Rebahan. Kelompok ini dimaknai sebagai sekelompok individu yang tak mau ikut berubah mengikuti laju perkembangan dan perubahan zaman. Padahal, sistem digitalisasi sudah melompat jauh, didorong oleh pandemi Covid-19 yang terjadi pada beberapa waktu  yang lalu.
Uniknya, pasca lompatan digitalisasi yang di-jumping oleh pandemi tersebut, ketika pandemi berakhir sebagian pola komunikasi kita tetap terus digunakan. Contohnya adalah aplikasi zoom meeting yang diperkirakan akan expired ketika pandemi berakhir. Faktanya, aplikasi ini tetap menjadi rujukan dan terus diperbaharui sistemnya. Sebab begitulah sains bekerja, ia terus mengalami pembaruan yang disebut mutakhir tanpa mengenal kata akhir.
Sementara itu, dalam Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang kini menjadi tulang punggung pergerakan tata kelola administrasi pemerintahan, Kaum Rebahan sebagian masih ada. Kelompok ini sebenarnya sangat up date menggunakan beberapa platform berbasis TIK atau teknologi informasi dan komunikasi.Â
Tapi begitu pola ini diterapkan dalam sistem administrasi pemerintahan, banyak yang gagap, berusaha menghindar, bahkan menganggapnya sebagai teknologi yang mempersulit. Padahal implementasi dari sistem ini merupakan dasar dari percepatan akselerasi untuk kemajuan pembangunan, yang output-nya adalah melakukan efisiensi waktu, biaya, juga tenaga. Terutama dalam hal memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat.
Produk-produk layanan dari SPBE seperti disebutkan di atas, ada dalam 6 arsitektur yang diatur oleh pemerintah pusat, termasuk Road Map Smart City. Artinya, secara keseluruhan pemerintah berusaha mengejar laju sistem digitalisasi yang sudah merambah ke seluruh belahan dunia tanpa terkecuali. Digitalisasi adalah harga yang tak bisa kita tawar lagi sejalan dengan terus diupayakannya peningkatan sumber daya manusia berkualitas mengiringi kemajuan teknologi.Â
Seperti diketahui, SPBE mensyaratkan 4 komponen penopangnya, yaitu; teknologi, orang, organisasi, dan rekanan (TOOR) bisa berjalan simultan. Itu artinya, teknologi tinggi jika tidak diimbangi dengan kemampuan sumber daya manusia berkualitas, maka ia tidak akan menghasilkan output yang signifikan bagi perkembangan digitalisasi pada suatu negara/daerah.